Suasana kemerdekaan menyeruak Agustus ini. Bagi kaum ibu, apa makna kemerdekaan itu? Sungguh, kaum ibu adalah tiang rumah tangga. Penyangga terpenting keharmonisan dan pengarah jejak langkah putra-putrinya. Jika ibu bebas merdeka menjalankan tugas dan fungsinya, insya Allah keluarga baik-baik saja.
Namun protret ibu merdeka hari ini jauh dari harapan. Masih banyak kaum yang belum merdeka dari segala hal. Lihatlah kaum tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang masih sangat tergantung pada para majikannya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang “diperbudak”. Hidup di negeri orang, terkungkung tembok majikan, hanya melakukan tugas rutin kerumahtangaan yang bukan rumah tangganya sendiri. Di mana letak kemerdekaan mereka?
Mungkin saat libur. Tapi, tetap saja mereka bukan manusia bebas, yang bisa pergi ke mana suka. Apalagi menjalankan tugas keibuan yang mereka tinggalkan di kampung halaman. Tak bisa memeluk, meninabobok, mendongengi dan mengajak bermain anak-anak tercinta. Anak-anak yang terpaksa ditinggalkan di bawah asuhan nenek-kakek, atau suaminya. Nurani keibuan pun dikubur dalam-dalam, tak bisa diekspresikan dengan merdeka.
Demikian pula nasib ibu-ibu kaum marginal yang masih bergelut dengan himpitan keuangan. Harga bumbu-bumbu dapur menggila. Sembako meroket. Sekadar mau memasak menu standar saja, musti cermat berhitung. Apalagi jika ingin menjajal resep pilihan, demi sajian bergizi dan memikat lidah keluarga. Mustahil tanpa dukungan finansial.
Belum lagi kebutuhan di luar perut. Pendidikan, kesehatan, mebeler, busana, aksesori dan rekreasi. Tidak ada yang gratis. Semua butuh uang. Bagaimana ibu-ibu bisa merdeka memenuhi itu semua tanpa dukungan finansial? Apa bisa memenuhi dengan penghasilan Rp11.000 perhari, sebagaimana standar ngawur BPS agar tidak disebut warga miskin? Begitulah, kaum ibu masih terjajah secara ekonomi. Dijajah kemiskinan.
Sementara kaum ibu di kalangan sosialita, tak kalah terjajahnya. Gaya hidup hedonis nan mewah, menjajah alam bawah sadar mereka untuk menyibukkan diri berburu barang branded sepanjang usia. Mengoleksi asesoris yang banderol harganya setara dengan harga satu rumah petak.
Apakah mereka merdeka? Tampaknya mereka begitu bebas shopping sana sini, berbelanja berburu barang mewah idamannya. Tapi jauh di lubuk hati terdalamnya tiada kemerdekaan. Selalu gelisah memikirkan, besok parade foto barang branded apalagi ya, untuk upload di Instagram? Lalu bagaimana dengan koleksi yang sudah memenuhi lemari, amankah? Tidak adakah kerabat atau pencuri yang bakal mengincar?
Kaum ibu masa kini juga belum merdeka dari anak-anak bermasalah. Betapa sulitnya mendidik anak-anak di zaman milenial ini. Kemudahan hidup, nyatanya tidak mendidik anak-anak agar bermental baja. Mereka malah labil, mudah terpengaruh. Tak sedikit yang terjerat narkoba, tawuran, bullying, penculikan, pelecehan, pedofilia dan bahkan perilaku kriminal seperti membunuh.
Lingkungan, media dan pergaulan sangat bebas. Menjadi sumber inspirasi bagi anak-anak sehingga tidak berjalan mengikuti tatanan agama. Di benaknya terjadi pendangkalan aqidah. Tidak ada semangat beribadah. Lemah dalam pemahaman Islam kafah. Bahkan ada yang justru terjerumus dalam pola pikir liberal. Kalau sudah begitu, bagaimana ibu-ibu bisa bebas pikirannya? Justru stres yang melanda.
Penjajahan Barat
Keterjajahan kaum ibu saat ini dari berbagai segi, tak lain karena kita hidup dalam habitat peradaban sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini tidak mengajarkan kaum ibu untuk bersikap qona’ah, penuh syukur dan hidup bersahaja. Tidak pula mengajarkan agar taat beragama, taat suami dan taat syariah. Akibatnya, hidup kaum ibu kering, jauh dari nilai-nilai ruhiyah.
Sistem kapitalisme dan demokrasi yang diterapkan, tidak memberi kebebasan hakiki bagi kaum ibu. Sebaliknya, tanpa sadar telah menjajah naluri keibuan mereka. Sekulerisme menjajah pemikiran dengan pemahaman yang bertentangan dengan Islam. Misalnya, memberi sugesti bahwa menjadi ibu rumah tangga itu adalah bentuk pemenjaraan di rumah suaminya. Profesi ibu rumah tangga dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan uang. Maka dibebaskanlah kaum ibu dari tugas-tugas tersebut, jika ingin menjadi wanita merdeka.
Setelah itu, dijajah pula dengan pemikiran bahwa ibu yang merdeka adalah yang mandiri secara ekonomi. Bisa cari duit sendiri. Meski, dengan cara mengespose tubuh diri. Maka banyak kaum ibu yang “menjual” tubuh demi segepok materi. Menjadi model, sales berbusana seksi, artis porno, dll. Untuk itu, mereka harus rela tersiksa dengan diet ketat alias tidak bebas makan. Demi menjaga berat badan. Juga, agar pakaian pressbody tidak jadi kekecilan. Harus rajin pula ke salon untuk menjaga penampilan, dsb .
Kaum ibu juga dijajah pemikiran akan pemujaan terhadap materi. Mereka diajak hobi membelanjakan uang sesuka hati. Termasuk membeli berbagai aksesori yang bukan kebutuhan pokok, meski harga tidak rasional. Itulah mengapa kaum ibu merasa “wajib” membeli ini itu, hanya karena alasan branded, lucu, trend, atau warnanya menarik.
Belum lagi jurang pemisah si miskin dan si kaya yang diciptakan sistem ekonomi kapitalisme. Menyebabkan kaum ibu larut dalam persaingan perasaan dalam hal kebendaan. Tak henti terus-terusan menyesali nasib buruknya ketika diuji kekurangan. Sebaliknya, bersikap sombong, angkuh dan tanpa empati ketika berada di puncak kejayaan.
Terapkan Islam
Kaum ibu hanya bisa mendapatkan kemerdekaan hakiki jika berpegang teguh pada Islam. Juga, jika Islam diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Bagaimana tidak, Islam datang untuk memerdekakan umat manusia, tak terkecuali kaum ibu. Banyak aturan Islam yang memerdekakan manusia agar menjadi pribadi bahagia, dunia dan akhirat.
Aturan ekonomi, politik, pendidikan, sosial, hukum dll jika berbasis Islam, akan menjamin keadilan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk kaum ibu. Membebaskan kaum ibu dari keterpurukan dalam ekonomi, karena negara menjamin kebutuhan pokoknya. Memerdekakan kaum ibu dari anak-anak bermasalah, karena mereka dijamin terbina dalam pendidikan Islam.
Menjauhkan ibu dari stres sosial, karena lingkungan dan pergaulan terjaga. Menjauhkan ibu dari ketimpangan materi, karena si miskin dan si kaya saling empati. Mengentaskan ibu dari profesi-profesi merendahkan. Menjauhkannya dari pelecehan dan seterusnya.
Sudah ada contoh ketika peradaban Islam diterapkan 14 abad lamanya. Bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi fakta membuktikan, bahwa peradaban sekuler saat ini menjauhkan kaum ibu dari kemerdekaan. Tidak layak dipertahankan. Maka tidak berlebihan bila kaum ibu ingin kembali ke masa kejayaan Islam. Semoga.
Sumber : Rubrik Muslimah Tabloid Media Umat
Terimakasih infonya, thanks for sharing..
ReplyDelete