Oleh: Prof Dr Al Yasa` Abubakar*
Imam mazhab dan para ulama memberikan penghargaan tinggi kepada para Sahabat Rasulullah. Penghargaan tersebut bukan saja terhadap pengabdian, pengorbanan dan kesetiaan mereka selama berjuang mendampingi Rasulullah, tetapi juga terhadap pendapat (fatwa, ijtihad atau fiqih) yang mereka hasilkan. Terkesan, pendapat para Sahabat tersebut semuanya benar. Mereka seolah-olah terhindar dari kesalahan atau paling kurang mereka telah mencapai kebenaran paling tinggi sehingga tidak layak dikritik, apalagi untuk tidak diikuti. Tulisan ini akan menjelaskan alasan kenapa para ulama memberikan penghargaan yang relatif sangat tinggi kepada pendapat (fatwa) para Sahabat.
Dalam tradisi Islam, ada dua pengertian Sahabat Rasulullah. Pertama, menurut kajian ilmu hadis, Sahabat adalah orang yang bertemu Rasulullah dalam keadaan Islam sampai wafat. Jadi, seorang muslim yang hanya sekali bertemu Rasulullah telah dianggap sebagai Sahabat menurut ilmu hadits. Sahabat dengan kriteria ini, menurut dugaan ulama, berjumlah sekitar 150.000 orang, dengan alasan jumlah jamaah pada haji wada` sekitar 100.000 orang. Mereka dianggap sebagai Sahabat dan hadits yang mereka tuturkan dinilai bersambung, bukan mursal.
Kedua, menurut kajian ilmu fiqih, syarat seseorang dianggap sebagai Sahabat kalau dia pernah bergaul bersama Rasulullah sampai beberapa lama, mendengar atau menyimak ketika beliau memberikan pengajaran, pernah menerima perintah atau larangan darinya, menyaksikan proses membuat keputusan, dan seterusnya. Dengan syarat ini, seorang Sahabat mengetahui tabi`at dan sifat Rasulullah. Pergaulan dan pendampingan tersebut dianggap cukup bagi mereka untuk memahami pengajaran dan bimbingan yang diberikan Rasulullah. Pendapat atau fatwa mereka inilah yang dianggap mempunyai nilai fiqih. Karena persyaratan yang relatif ketat ini, maka jumlah Sahabat yang fatwanya dihargai tidaklah banyak. Ibnu Hazm (Al-Ihkam jilid 5, bab 28) setelah melakukan penelitian secara menyeluruh menyatakan bahwa Sahabat yang memberikan fatwa yang relatif banyak (mencapai ribuan buah) hanya tujuh orang saja, yaitu `Aisyah binti Abu Bakr, `Umar bin al-Khaththab, `Ali bin Abi Thalib, `Abdullah Ibnu `Abbas, `Abdullah Ibnu Mas`ud, `Abdullah Ibnu `Umar, dan Zaid bin Tsabit. Sedang Sahabat yang memberikan fatwa dalam jumlah sedang (mencapai ratusan buah) hanya tiga belas orang. Jumlah Sahabat yang memberikan fatwa hanya beberapa buah saja antara seratus sampai seratus lima puluh orang saja.
Alasan yang digunakan untuk menjelaskan kelebihan para Sahabat dalam memahami isi al-Qur’an dan hadits terbagi menjadi dua. Pertama, ayat al-Qur`an dan hadits yang menyatakan keunggulan dan kelebihan mereka. Ibnu Qayyim (I`lam al-Muwaqqi`in, jilid 4, hlm. 130) mengelompokkan bukti dan alasan tentang kelebihan Sahabat atas generasi lain menjadi 43 buah. Dia mengutip lebih 15 ayat al-Qur’an dan lebih 15 hadits. Di antara yang dia kutip adalah ayat yang menurutnya digunakan Imam Malik untuk melebihkan Sahabat atas generasi lainnya, yaitu surat Al-Taubah ayat 100. Sedang hadits, dari belasan yang dikemukakan Ibnu Qayyim, penulis kutipkan salah satu yang dianggap paling relevan, yaitu hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “Abad (kurun, generasi) yang terbaik adalah kurun waktu saya diutus, kemudian kurun (generasi) yang mengikutinya, lalu kurun (generasi) yang sesudahnya, dan seterusnya (dalil keempatbelas, hlm. 136).
Kedua, alasan rasional bahwa mereka merupakan generasi yang paling memahami Rasulullah dibandingkan dengan generasi sesudahnya. Para ulama, khususnya imam mazhab, berkeyakinan bahwa Sahabat mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah, maka merekalah orang (generasi) yang paling memahami nash. Mereka mengetahui jalan pikiran, bahkan melihat ekspressi wajah Rasulullah ketika memutuskan sesuatu perkara, serta mengetahui kesulitan dan kelapangan yang dialami Rasulullah ketika mengamalkan sesuatu perbuatan. Mereka juga mengetahui asbab al-nuzul ayat al-Qur’an dan asbab al-wurud hadits-hadits serta menguasai bahasa Arab dan adat Arab dengan baik.
Menurut penulis, kelebihan Sahabat yang oleh para ulama ditafsirkan secara sangat luas, adalah mungkin untuk dipahami secara lebih sempit; bahwa Sahabat adalah generasi yang terbaik hanya terbatas pada kesetiaan, kepatuhan, dan pembelaan mereka kepada Rasulullah. Hal tersebut tidak mungkin diberikan oleh generasi lain, karena mereka semuanya hidup sesudah Rasulullah wafat. Adapun pendapat (fatwa, pemahaman, ijtihad) mereka, tetap akan dihargai sebagai pendapat dan pemahaman yang benar dan baik, tetapi tidak akan dihargai sebagai pendapat yang paling benar, apalagi satu-satunya kebenaran. Alasan pertama, Sahabat adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan, karena itu pendapatnya harus dihargai sebagai pendapat manusia (ulama) yang mungkin saja keliru. Mereka sama seperti manusia lainnya, bukan orang ma`shum. Alasan kedua, adanya cara (metode) untuk menemukan kebenaran yang dianggap cukup kuat yang tidak diketahui (digunakan) oleh Sahabat, yaitu metode ilmiah.
Dengan jalan pikiran seperti ini, adalah mungkin bagi ulama sekarang atau pada masa yang akan datang untuk memberikan pemahaman yang berbeda dengan pemahaman para Sahabat Rasulullah (atas al-Qur’an dan hadits Rasulullah), dan tetap dihargai sebagai kebenaran (berdasarkan persyaratan metodologis). Adanya upaya untuk mencari pendapat baru sebagai pengganti atas pemahaman Sahabat, bukanlah karena pendapat Sahabat dianggap salah atau tidak benar, tetapi “terpaksa” dilakukan karena pendapat tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan. Perbedaan budaya, keadaan, dan lingkungan antara masyarakat masa Sahabat dengan masyarakat masa sekarang sudah sedemikian rupa jauhnya, karena itu dirasa perlu mencari pendapat baru yang lebih maslahat pada satu segi dan memenuhi syarat metodologis pada segi yang lain.
Pendapat para Sahabat dapat dirinci menjadi dua macam. Pertama, sekiranya diketahui alasan dan pertimbangannya, maka pendapat tersebut akan diterima dan dihargai berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dikemukakan oleh para Sahabat itu. Kedua, ketika pendapat para Sahabat tentang sesuatu hal dianggap tidak rasional atau tidak sistematis, maka para imam mazhab akan menerimanya dengan asumsi pasti ada dalil (al-Qur’an atau sunnah) yang digunakan sebagai dasar oleh para Sahabat, tetapi tidak sampai kepada imam mujtahid (mazhab); atau ada logika dan jalan pikiran yang mereka gunakan tetapi tidak dijelaskan sehingga tidak diketahui oleh para imam mazhab. Jadi, pendapat tersebut akan tetap dihargai menurut apa adanya, tidak layak untuk dikritik apalagi ditinggalkan.
Wahbah az-Zuhayli menyatakan (Ushul-ul Fiqh, hlm. 850), ada empat pendapat para imam mazhab mengenai kehujjahan pendapat Sahabat. Pertama, mereka sepakat mengenai kehujjahan pendapat Sahabat dalam bidang yang tidak menjadi lapangan ijtihad, karena kuat dugaan Sahabat memberikan pendapat berdasarkan khabar tawqifi dari Rasulullah, tetapi tidak mereka sebutkan. Kedua, mereka sepakat mengenai kehujjahan pendapat Sahabat dalam masalah yang sudah disepakati oleh para Sahabat, sebagiannya menyebutkan sebagai ijma` Sahabat, sedang sebagian lain menyatakannya belum mencapai tingkat ijma’ namun tetap mengakui otoritasnya. Ketiga, mereka sepakat bahwa pendapat seorang Sahabat tidak menjadi hujjah kepada Sahabat yang lain. Keempat, mereka berbeda pendapat tentang kehujjahan pendapat Sahabat yang merupakan hasil ijtihad penuh; sebagian mereka menyatakannya mengikat atas para tabi`in dan generasi yang datang sesudah mereka, sedang sebagian lagi menyatakan tidak mengikat.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhayli dengan mengutip pendapat yang ada dalam kitab-kitab ushul fiqih, menyebutkan untuk pendapat yang keempat ini, ada empat pendapat juga sebagai penjabarannya. Pertama, hasil ijtihad tersebut bukan hujjah syar`iyyah. Pendapat ini dinisbahkan kepada jumhur ulama Asy`ariyah, Muktazilah, dan Syi`ah (ketiganya aliran kalam). Pendapat ini diikuti juga oleh Imam Ahmad dalam satu riwayat, serta sebagian pengikut Hanafiah dan Malikiah. Oleh para pengikut Imam Syafi`i (ulama Syafi`iyah) pendapat ini dinisbahkan juga kepada Imam Syafi`i. Ibnu Hazm juga termasuk pengikut pendapat ini, bahkan lebih jauh lagi beliau menolak semua pendapat Sahabat dengan alasan hanya al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang mengikat umat Islam. Kedua, merupakan hujjah syar`iyyah dan didahulukan atas qiyas. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad, dan sebagian ulama dalam mazhab Hanafi. Menurut Wahbah, kebanyakan buku kontemporer menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Ketiga, merupakan hujjah syar`iyah kalau sejalan dengan qiyas. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi`i dalam Qawl Jadid-nya. Keempat, merupakan hujjah syar`iyyahapabila menyalahi qiyas.
Menurut Ibnu Qayyim, ulama Syafi`iah yang menyatakan Imam Syafi`i menolak pendapat seorang Sahabat sekiranya tidak didukung oleh Sahabat yang lain adalah keliru. Beliau mengutip berbagai sumber yang mengatakan bahwa Imam Syafi`i dalam banyak kesempatan selalu menyatakan bahwa pendapat Sahabat adalah hujjah yang wajib diikuti oleh generasi yang datang sesudahnya (Ibnu Qayyim, I`lam, hlm. 120).
Terlepas dari pendapat mereka secara teoritis, imam mazhab yang empat dan pengikut-pengikutnya cenderung mengikuti pendapat (ijtihad, fatwa) para Sahabat. Sepanjang bacaan penulis, para imam mazhab selalu mengikuti pendapat Sahabat. Kalau dicari dengan telilti, memang ditemukan satu atau dua pendapat imam mazhab yang keluar dari pendapat Sahabat, tetapi jumlahnya sedikit sekali. Para imam mazhab merasa tidak perlu membuat pendapat sendiri karena sudah ada pendapat Sahabat, bahkan mungkin tidak berani membuat fatwa yang menentang (berbeda dengan) fatwa Sahabat.
Pengecualian atas pendapat jumhur ulama di atas, barangkali hanya ditemukan pada Ibnu Hazm. Secara teoritis, beliau menolak fatwa Sahabat sekiranya tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan Hadits. Walaupun memberikan syarat yang relatif ketat untuk penerimaan pendapat Sahabat, Ibnu Hazm tetap berpendapat bahwa Sahabat secara umum adalah generasi umat Islam yang paling baik, yang tidak tertandingi. Seorang Sahabat yang duduk mendengarkan Nabi adalah lebih baik dari seorang bukan Sahabat yang beribadat sepanjang umurnya.
Mengenai penghargaan yang tinggi atas fatwa (pendapat) para Sahabat, barangkali perlu diberikan sedikit catatan. Orang yang dijamin al-Qur’an bebas dari kesalahan hanyalah Rasulullah. Jadi, menganggap pendapat para Sahabat sebagai pendapat yang pasti benar adalah sesuatu yang berlebih-lebihan menurut keimanan, dan menyalahi fitrah manusia yang tidak terbebas dari kesalahan. Seperti kata Ibn Hazm, kita harus mengujinya dengan kritis, mengembalikannya kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Untuk masa sekarang, pendapat Sahabat tentu harus diujikan juga kepada `urf yang hidup serta hasil capaian ilmu pengtahuan dan teknologi.
Dengan demikian, apa yang dikerjakan oleh para imam mazhab pada hakikatnya hanyalah upaya untuk menyusun metode yang jelas dan baku guna memilih dan mensistematisasi pendapat (fatwa, fiqih) yang dihasilkan oleh para Sahabat. Pendapat tersebut mereka pilih dan setelah itu disusun dalam sebuah alur berpikir tertentu, agar menjadi logis dan sistematis. Pendapat-pendapat para Sahabat yang dianggap memenuhi persyaratan akan mereka pilih dan akan dihimpun dalam suatu susunan tertentu, dengan menyertakan alasannya. Sedang yang dianggap tidak memenuhi syarat tidak dipilih dan dibiarkan tersebar, bahkan kuat dugaan ada yang tidak terdokumentasikan lagi. Jadi, apa yang mereka pilih dari pendapat para Sahabat inilah yang pada akhirnya menjadi mazhab mereka. Disadari atau tidak, ada banyak pendapat Sahabat yang tersisih dan hilang dari pengetahuan dan pemakaian umum, bahkan di dalam diskusi (polemik) antar ulama pun ada yang jarang sekali dikutip, karena sudah ditinggalkan oleh para imam mazhab. Pendapat ini hanya ditemukan di dalam buku yang memang berusaha menghimpun pendapat Sahabat, walaupun yang sudah tidak diikuti oleh para imam mazhab. Di antaranya adalah kitab syarah hadis Fath al-Bari, syarah Sahih Bukhari karangan Ibnu Hajar al-`Asqalani, kitab fiqih ensiklopedis seperti Al-Muhalla karangan Ibn Hazm, dan Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah.
Setelah Rasulullah wafat, para Sahabat tidak mempunyai pilihan selain berijtihad untuk menyelasaikan berbagai masalah yang mereka hadapi, karena tidak ada lagi tambahan atas al-Qur’an dan bimbingan Rasul pun sudah terhenti. Dalam melakukan ijtihad, mereka mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh selama hidup mendampingi Rasulullah. `Ali al-Khafif (Al-Muhadharatu, hlm. 128) menyatakan, pada masa tersebut belum ada metode yang tersusun rapi, begitu juga belum ada tertib urut dalil dan sumber pengambilan yang jelas dan terinci. Boleh dikata, para Sahabat melakukan penalaran secara bebas (libaral) berdasar kemampuan “ilmiah subjektif” masing-masing, berdasarkan kemampuan dan ketajaman pikiran serta kedalaman kata hati masing-masing, serta pertimbangan kemaslahatan ataupun kebutuhan masyarakat yang mereka hadapi.
Sejarah mencatat, kadang-kadang Sahabat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan berdiskusi, bermusyawarah, dan membuat kesepakatan. Walaupun sudah berdiskusi dan bermusyawarah, kadang mereka tetap berbeda pendapat karena berbeda titik pandang dan jalan pikiran. Sering juga mereka terpaksa mengemukakan pendapat pribadi ketika sedang sendirian sehingga tidak sempat mendiskusikan atau mengomfirmasikannya kepada Sahabat yang lain. Dalam keadaan ini, apabila diberitahu oleh Sahabat lain bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan nash, maka biasanya Sahabat yang bersangkutan akan mencabut fatwa tersebut. Apabila perbedaan pendapat yang terjadi tidak karena bertentangan dengan nash, tetapi karena masing-masing mempunyai logika dan jalan pikiran sendiri yang dianggap masuk akal dan memenuhi syarat, maka mereka akan menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan dan kelapangan.
Pada umumnya, mereka melakukan diskusi secara terbuka dan bebas, sehingga dapat diketahui mana masalah yang pernah diskusikan dan setelah itu mereka sepakati (ijma`), dan mana pula masalah yang tidak disepakati setelah berdiskusi. Begitu juga relatif mudah untuk diketahui mana masalah yang tidak pernah didiskusikan dan karena itu tidak ada kesepakatan walaupun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Catatan mengenai jalannya diskusi dan musyawarah, memberi petunjuk pula tentang cara mereka merujuk atau tepatnya mencari ayat al-Qur’an dan praktek Rasulullah sebagai rujukan; serta cara mereka menggunakannya dan memahami kandungannya. Mengenai pemahaman ini, ada yang secara harfiah, namun banyak juga yang dipahami berdasarkan`illat dan maqashid. Begitu juga diskusi-diskusi tersebut memberi petunjuk tentang penggunaan dan perujukan para Sahabat kepada adat Arab dalam memahami al-Qur’an.
Meminjam istilah Fazlur Rahman (Islam dan Modernitas, hlm. 26), metode dan pendekatan yang ditempuh para Sahabat untuk melakukan ijtihad (istinbath) disebut sebagai pemahaman atas dasar “internalisasi.”Maksudnya, pemahaman yang ditegakkan berdasar penghayatan atas praktek ibadah dan perilaku keseharian serta nilai-nilai dalam artinya yang luas, yang mereka peroleh selama hidup mendampingi Rasulullah saw. Cara belajar dan membuat kesimpulan (fiqih) seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang ikut dan mengalami kegiatan tersebut, misalnya melalui kehidupan bersama.
Keadaan dan cara pendekatan internalisasi ini berlanjut pada masa tabi`in dan tabi` tabi`in, dua generasi sesudah Sahabat. Namun, karena hidup sesudah generasi Sahabat tidak bertemu dengan Rasulullah, mereka tidak dapat melakukan pemahaman berdasar “internalisasi” atas ajaran Rasulullah. Tetapi mereka bertemu dengan Sahabat Rasulullah. Sampai batas tertentu, mereka dapat dianggap sebagai generasi unik, yaitu generasi yang bertemu dengan orang (generasi) yang telah bertemu dengan Rasulullah. Mungkin sekali mereka mengikuti model penalaran Sahabat karena kekaguman kepada mereka dan lebih dari itu karena tidak mengetahui model pemahaman yang lain. Akibatnya, karena tidak memahami hakikat dan tatacara pemahaman berdasar internalisasi secara memadai, maka sebagian pemahaman mereka menjadi tidak terkendali, bahkan ada yang dianggap “liar” dan semena-mena, melenceng dari tujuan dan maksud al-Qur’an. Perbedaan pendapat di antara mereka pun menjadi tajam dan saling menyalahkan sampai pada tingkat saling mengkafirkan. Jamal Barut mengutip pernyataan Rabi`ah al-Ra’y (wafat 136 H), “bahwa apa yang halal menurut ulama (ahl) Medinah adalah haram menurut ulama (ahl) Irak, dan begitu juga sebaliknya” (Ahmad al-Raysuniy dan Jamal Barut, Al-Ijtihad, al-Nash, al-Waqi`, al-Mashlahah, hlm. 76)..
Kebebasan tanpa batas dalam melakukan ijtihad tidak seluruhnya disebabkan oleh metode yang digunakan. Sebagiannya didorong oleh perpecahan politik yang tajam yang dalam kenyataannya bukan sekedar mengeluarkan ijtihad “liar” dan semena-mena, tetapi sampai kepada tingkat memalsukan hadis Rasulullah untuk tujuan politik tertentu. Budaya dan adat lokal yang berbeda, serta pengetahuan yang mereka kuasai ikut memberi andil dalam kekacauan pendapat yang dihasilkan oleh para tokoh pada masa ini. Kelihatannya, ketiadan metode istinbath yang jelas, serta kepentingan kelompok dan pengaruh masa lalu yan belum seluruhnya terkikis, telah dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk melahirkan fatwa yang menguntungkan kelompoknya.
Karena keadaan inilah, para ulama generasi imam mazhab mulai menyusun dan merumuskan metode untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan dan hasil pemikiran tersebut, yang pada masa belakangan kita kenal dengan nama ushul fiqih. Pada dasarnya, kaidah-kaidah ini disusun utuk mengukur dan mengetahui apakah ijtihad dan pendapat yang sudah diberikan itu sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Lebih dari itu, kaidah-kaidah ini dipergunakan juga untuk mengijtihadkan nash dalam upaya mencari hukum atas masalah-masalah baru yang belum ada hukum syara`nya. Di dalam praktek, karena para imam mazhab merasa tidak boleh keluar dari pendapat para Sahabat, maka kaidah-kaidah ini pada utamanya mereka gunakan hanyalah untuk menyusun pendapat mazhab dari bahan-bahan yang ditinggalkan para Sahabat dan bahkan para tabi`in. Karena digunakan untuk menyeleksi pendapat yang difatwakan para Sahabat, maka mazhab yang dihasilkan tersebut pada intinya masih merupakan kelanjutan dari pendapat Sahabat yang dihasilkan melalui metode internalisasi, bukan pendapat yang dihasilkan dengan metode dan pertimbangan “belajar formal di dalam kelas.” Tegasnya, fiqih yang dihasilkan bukan kajian yang betul-betul “ilmiah,” dalam arti mengambil langsung dari al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan kaidah ushul fiqih sebagai metodenya, tanpa dipengaruhi ataupun terikat dengan pendapat para Sahabat.
Dalam memahami pendapat para Sahabat, para imam mazhab dan bahkan ulama lainnya secara umum, cenderung mengabaikan keterpengaruhan Sahabat dengan adat jahiliah. Para ulama kelihatannya yakin sekali bahwa Sahabat sudah berhasil meninggalkan adat jahiliah secara penuh, sehingga tidak layak untuk meragukan, apalagi mempertanyakannya. Penulis setuju bahwa kesetiaan Sahabat kepada Islam tidak layak untuk diragukan, dan upaya mereka untuk keluar serta meninggalkan adat jahiliah pun tidak perlu dipertanyakan. Tetapi sekiranya dilihat dengan kritis, akan ditemukan beberapa pendapat yang kelihatannya masih terpengaruh dengan adat jahiliah dan tidak sejalan dengan ruh al-Qur’an, yang mungkin sekali terjadi secara tidak sengaja.
Dengan kata lain, karena mereka masih dekat dengan masa jahiliah, dan penjelasan Rasulullah mereka anggap tidak memadai, maka beberapa konsep dalam al-Qur’an yang bertujuan untuk mengubah adat jahiliah, oleh para Sahabat secara tidak sadar dibelokkan lagi pemahamannya, sehingga masuk lagi ke lingkungan adat jahiliah. Wallahu a`lam bis-shawab wa ilayhil marji` wal-ma`ab!
Sumber:(suaramuhammadiyah)
0 komentar:
Post a Comment