وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ لَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْسَ الْجُوعِ وَالْعَطَشِ بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَاتِ وَتَطْوِيعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ نَظَرَ الْقَبُولِ
“Imam al-Baidlowi berkata: ‘Menahan lapar dan haus semata bukanlah maksud disyari’atkannya puasa, akan tetapi harus diikuti dengan pengendalian syahwat dan mengatur nafsu amarah (untuk diarahkan) kepada nafs al-muthmainnah. Jika hal itu tidak terwujud, maka Allah tidak akan menerima puasanya (Fath al-Bari, IV: 117. Lihat juga Mir’aat al-Mafaatiih Syarh Misykaat al-Mashaabiih, VI: 479).”
Salah satu hal yang harus dihindari -dan selanjutnya dirubah- selama bulan Ramadhan adalah berkata bohong. Sebab tujuan seorang hamba melaksanakan puasa adalah untuk memperoleh predikat takwa. Dan hal ini tidak dapat terwujud kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah swt. Firman Allah dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa [Q.S. al-Baqarah (2): 183].”
Namun, jika dilihat dari segi fikih, bagaimana hukumnya orang yang berbohong saat berpuasa (utamanya puasa Ramadhan) ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari sama kita perhatikan riwayat berikut ini:
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (malah) melakukannya, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan (tahan) (H.R. al-Bukhari no. 1903).”
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa [Q.S. al-Baqarah (2): 183].”
Namun, jika dilihat dari segi fikih, bagaimana hukumnya orang yang berbohong saat berpuasa (utamanya puasa Ramadhan) ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari sama kita perhatikan riwayat berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة عَنِ النَبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ بِأَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (malah) melakukannya, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan (tahan) (H.R. al-Bukhari no. 1903).”
Berkaitan dengan hadits ini, penulis kitab al-Istidzkaar berkata:
“Adapun makna sabda Rasulallah saw ‘Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (malah) melakukannya, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan (tahan)’, adalah sebagai karahah (sesuatu yang dibenci) dan peringatan keras sebagaimana orang yang meminum khamr diperintahkan untuk menyembelih (memakan) babi (lihat Sunan Abi Dawud no. 3489 –pent). Hal ini untuk menunjukkan besarnya dosa peminum khamr. Begitu pula dengan orang yang menggunjing dan bersaksi (berkata) dusta dan munkar. Ia tidak diperintahkan untuk meninggalkan (membatalkan) puasanya melainkan untuk menjauhi perkara tersebut (dusta) agar pahala puasanya sempurna (al-Istidzkaar, III: 374. Lihat juga al-Masaalik Fii Syarh al-Muwattha’, IV: 237).”
Berkata dusta (zuur) adalah perkara tercela yang harus dijauhi, terlebih lagi jika dilakukan di bulan Ramadhan. Larangan berdusta adalah bersifat haram, namun menurut jumhur (mayoritas) ulama bukan temasuk perkara yang membatalkan puasa (lihat Fath al-Baari, IV: 117).
Berdasarkan uraian diatas, seorang muslim memang tidak diperkenankan untuk berkata dan berbuat dusta. Terlebih jika dilakukan di bulan Ramadhan. Pada bulan yang mulia ini kita diperintahkan untuk beramal shaleh semaksimal mungkin dalam rangka untuk mendapat ampunan dari Allah swt. Alangkah meruginya jika kita sudah lelah menahan haus dan lapar sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, namun puasa yang kita lakukan tida bernilai di mata Allah swt.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ من لم يدع قول الزور والعمل به فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فَمَعْنَاهُ الْكَرَاهَةُ وَالتَّحْذِيرُ كَمَا جَاءَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَلْيُشَقِّصِ الْخَنَازِيرَ أَيْ يَذْبَحْهَا وَلَيْسَ هَذَا عَلَى الْأَمْرِ بِتَشْقِيصِ الْخَنَازِيرِ وَلَكِنَّهُ عَلَى تَعْظِيمِ إِثْمِ شَارِبِ الْخَمْرِ وَكَذَلِكَ مَنِ اغْتَابَ أَوْ شَهِدَ زُورًا أَوْ مُنْكَرًا لَمْ يُؤْمَرْ بِأَنْ يَدَعَ صِيَامَهُ وَلَكِنَّهُ بِاجْتِنَابِ ذَلِكَ لِيَتِمَّ لَهُ أجر صومه
“Adapun makna sabda Rasulallah saw ‘Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (malah) melakukannya, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan (tahan)’, adalah sebagai karahah (sesuatu yang dibenci) dan peringatan keras sebagaimana orang yang meminum khamr diperintahkan untuk menyembelih (memakan) babi (lihat Sunan Abi Dawud no. 3489 –pent). Hal ini untuk menunjukkan besarnya dosa peminum khamr. Begitu pula dengan orang yang menggunjing dan bersaksi (berkata) dusta dan munkar. Ia tidak diperintahkan untuk meninggalkan (membatalkan) puasanya melainkan untuk menjauhi perkara tersebut (dusta) agar pahala puasanya sempurna (al-Istidzkaar, III: 374. Lihat juga al-Masaalik Fii Syarh al-Muwattha’, IV: 237).”
Berkata dusta (zuur) adalah perkara tercela yang harus dijauhi, terlebih lagi jika dilakukan di bulan Ramadhan. Larangan berdusta adalah bersifat haram, namun menurut jumhur (mayoritas) ulama bukan temasuk perkara yang membatalkan puasa (lihat Fath al-Baari, IV: 117).
Adapun makna sabda Rasulallah saw ‘maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan’ adalah Allah tidak punya kehendak (iraadah) terhadap puasa yang ia lakukan (lihat Syarh Shahih al-Bukhari Li Ibn Bathaal, IV: 23).
Dengan kata lain, puasa yang dilakukan adalah sia-sia. Yang ia lakukan hanyalah sebatas menggugurkan kewajiban dan tidak mendapatkan pahala puasa dari Allah swt. Padahal pahala puasa Ramadhan diberikan oleh Allah swt secara langsung (lihat Shahih al-Bukhari no. 1904, 5927, dan Muslim no. 1151).
Berdasarkan uraian diatas, seorang muslim memang tidak diperkenankan untuk berkata dan berbuat dusta. Terlebih jika dilakukan di bulan Ramadhan. Pada bulan yang mulia ini kita diperintahkan untuk beramal shaleh semaksimal mungkin dalam rangka untuk mendapat ampunan dari Allah swt. Alangkah meruginya jika kita sudah lelah menahan haus dan lapar sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, namun puasa yang kita lakukan tida bernilai di mata Allah swt.
Semoga rahmat, ampunan, dan karunia Allah selalu menanungi kita semua, utamanya di bulan Ramadhan ini. Wallahhu ‘alam bi ash-shawab.
0 komentar:
Post a Comment