يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa [Q.S. al-Baqarah (2): 183].”
Namun terkadang ada kebutuhan untuk melakukan aktivitas yang berdekatan dengan pembatal puasa, seperti mencicipi dan atau mengunyah makanan untuk anak kecil/bayi. Keadaan ini menimbulkan keraguan bagi sebagian kaum Muslimin terkait dengan hukumnya dalam syari’at Islam; apakah dibolehkan, makruh, atau dilarang. Berkaitan dengan hal ini, berikut paparan singkat dari kami.
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas menyatakan:
“Waqi’ telah menceritakan kepada kami, dari Israil, dari Jabir, dari ‘Atho, dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: ‘Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk ke kerongkongannya (H.R. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, no. 9277. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab al-Irwa’ no 937).”
Riwayat lain dari ‘Aisyah ra menyebutkan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Waqi’ telah menceritakan kepada kami, dari Israil, dari Jabir, dari ‘Atho, dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: ‘Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk ke kerongkongannya (H.R. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, no. 9277. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab al-Irwa’ no 937).”
Riwayat lain dari ‘Aisyah ra menyebutkan:
وقالت عائشة في شراب سقته لأضيافها وقالت لولا أني صائمة لذقته
“Aisyah berkata tentang minuman yang beliau hidangkan kepada tamu-tamunya, ‘Sekiranya aku tidak (sedang) berpuasa, tentu aku akan mencicipinya’ [Lihat Mushannaf ‘Abd ar-Razzaq, IV: 107 (no. 7310), Thabaqat Ibn Sa’d, VI: 79 , Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, II: 305 (no. 9282)].”
Berkaitan dengan kedua riwayat ini, Imam Ibnu Taimiyyah memberikan pandangan bahwa pada dasarnya seseorang boleh mencicipi makanan dan atau minuman. Hanya saja seseorang dianjurkan untuk menjaga diri (tidak mencicipi) makanan dan atau minuman karena dikhawatirkan akan masuk ke kerongkongannya (Al-Majmu’, VI: 356). Dan dengan alasan kehati-hatian, imam Malik memakruhkan secara mutlak untuk mencicipi makanan dan atau minuman bagi orang yang berpuasa, meskipun jika dilakukan puasanya tetap sah selama tidak masuk ke kerongkongan (Al-Mudawwanah, I: 178. Lihat pula An-Nawaadir wa Az-Ziyadat, II: 40-41).
Lalu bagaimana dengan mengunyah makanan bagi orang yang sedang puasa?
Pada dasarnya, orang yang berpuasa dibolehkan melakukan aktivitas apa saja selain makan, minum, hubungan suami istri di siang hari, dan berbuat maksiat (terutama yang berpotensi membatalkan puasa –pent). Adapun terkait dengan mengunyak makanan untuk bayi, terdapat sebuah keterangan dari Ibnu ‘Abbas:
“Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Tidak mengapa perempuan yang berpuasa mengunyah makanan untuk bayinya, dan ini merupakan pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan Imam An-Nakha’i. Sedangkan Imam Malik, Ats-Tsauri, dan para ulama Kufah memakruhkannya kecuali memang tidak ada pilihan lainnya (Lihat at-Taudlih Li Syarh al-Jami’ ash-Shahih, XIII: 201, Mushanaf ‘Abd ar-Razzaq, IV: 207 (no. 7512).”
Berdasarkan keterangan di atas, seseorang -baik laki-laki atau perempuan- yang hendak mengunyah makanan ketika puasa harus memperhatikan beberapa hal:
1. Berada dalam kondisi yang tidak memberinya pilihan lain.
2. Ada keperluan yang mendorongnya untuk melakukan hal ini (mengunyah makanan) dan ia tidak mendapatkan cara lain ketika itu. Jika masih bisa mengupayakan cara lain tersebut, maka sangat dianjurkan untuk mengambilnya.
3. Wajib menjaga diri dari sisa makanan dan atau rasa yang tertinggal dari aktivitas mengunyah. Sebab sisa makanan yang tertinggal sangat berpotensi menjadi penyebab batalnya puasa. Adapun cara menjaga diri dari sisa makanan bisa dengan cara berkumur dan menggosok gigi (tanpa pasta gigi sangat dianjurkan). Jika upaya maksimal sudah dilakukan, kemudian masih ada sisa makanan yang tertelan karena sulit untuk menjaga diri darinya -karena larut bersama air liur, misalnya- maka in syaa Allah hal ini dimaafkan dan tidak membatalkan puasa (lihat fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no 127899 dan 720).
Lalu bagaimana dengan mengunyah makanan bagi orang yang sedang puasa?
Pada dasarnya, orang yang berpuasa dibolehkan melakukan aktivitas apa saja selain makan, minum, hubungan suami istri di siang hari, dan berbuat maksiat (terutama yang berpotensi membatalkan puasa –pent). Adapun terkait dengan mengunyak makanan untuk bayi, terdapat sebuah keterangan dari Ibnu ‘Abbas:
وقال ابن عباس لا بأس أن تمضغ الصائمة لصبيها الطعام وهو قول الحسن البصري والنخعي وكرهه مالك والثوري والكوفيون إلا لمن يجد بدًّا من ذَلِكَ
“Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Tidak mengapa perempuan yang berpuasa mengunyah makanan untuk bayinya, dan ini merupakan pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan Imam An-Nakha’i. Sedangkan Imam Malik, Ats-Tsauri, dan para ulama Kufah memakruhkannya kecuali memang tidak ada pilihan lainnya (Lihat at-Taudlih Li Syarh al-Jami’ ash-Shahih, XIII: 201, Mushanaf ‘Abd ar-Razzaq, IV: 207 (no. 7512).”
Berdasarkan keterangan di atas, seseorang -baik laki-laki atau perempuan- yang hendak mengunyah makanan ketika puasa harus memperhatikan beberapa hal:
1. Berada dalam kondisi yang tidak memberinya pilihan lain.
2. Ada keperluan yang mendorongnya untuk melakukan hal ini (mengunyah makanan) dan ia tidak mendapatkan cara lain ketika itu. Jika masih bisa mengupayakan cara lain tersebut, maka sangat dianjurkan untuk mengambilnya.
3. Wajib menjaga diri dari sisa makanan dan atau rasa yang tertinggal dari aktivitas mengunyah. Sebab sisa makanan yang tertinggal sangat berpotensi menjadi penyebab batalnya puasa. Adapun cara menjaga diri dari sisa makanan bisa dengan cara berkumur dan menggosok gigi (tanpa pasta gigi sangat dianjurkan). Jika upaya maksimal sudah dilakukan, kemudian masih ada sisa makanan yang tertelan karena sulit untuk menjaga diri darinya -karena larut bersama air liur, misalnya- maka in syaa Allah hal ini dimaafkan dan tidak membatalkan puasa (lihat fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no 127899 dan 720).
Demikian paparan singkat tentang hukum mengunyah makanan ketika puasa. Wajib bagi setiap muslim untuk menjaga diri dari hal-hal yang berpotensi membatalkan puasa supaya puasa yang dijalankan mendapat ganjaran maksimal dari Allah swt dan dapat menjadi wasilah untuk meraih predikat sebagai manusia yang bertaqwa. Wallahu ‘alam bi ash-shawab
0 komentar:
Post a Comment