Termasuk dalam usaha menjaga diri adalah tidak melakukan hal-hal yang berpotensi menjadi penyebab batalnya puasa, baik terkait dengan perut maupun kemaluan. Sebagaimana diketahui, orang yang keluar mani karena sengaja wajib meng-qadla -bahkan membayar kafarat sebagaimana pendapat terkuat dalam madzhab Maliki-, sebab ia telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh syari’at Islam dan menjadi semakin besar dosanya ketika dilakukan di bulan Ramadhan.
Para ulama yang berpegang dengan pendapat ini menyamakan keluarnya mani secara sengaja dengan jima’ (bersetubuh) di siang hari Ramadhan. Meskipun segolongan ulama lainnya hanya mewajibkan qadla, sebab jima’ tidak bisa disamakan dengan keluar mani dengan sengaja. Selain itu, penetapan terhadap suatu hukum harus didasari pada suatu dalil yang valid, baik berupa larangan maupun perintah.
Lalu bagaimana jika yang keluar hanya madzi? Dan bagaimana konsekuensi hukumnya? Berikut bahasan singkat dari kami.
Sebelum membahas tentang konsekuensi hukum bagi orang yang keluar madzi di bulan Ramadhan, terlebih dahulu kita akan membahas perbedaan antara mani, madzi dan wadi. Hal ini kami anggap penting mengingat masih terdapat kerancuan pemahaman yang beredar di sebagian masyarakat muslim.
Mani mempunyai ciri sebagai berikut: Keluar disertai dengan syahwat, menyebabkan badan menjadi lemas/rileks, warnanya putih dan cenderung kuning, tebal dan tidak tipis/fragile, keluar secara memancar/muncrat beberapa kali, baunya seperti mayang kurma atau adonan tepung, dan jika kering baunya seperti putih telur yang mengering.
Sebelum membahas tentang konsekuensi hukum bagi orang yang keluar madzi di bulan Ramadhan, terlebih dahulu kita akan membahas perbedaan antara mani, madzi dan wadi. Hal ini kami anggap penting mengingat masih terdapat kerancuan pemahaman yang beredar di sebagian masyarakat muslim.
Mani mempunyai ciri sebagai berikut: Keluar disertai dengan syahwat, menyebabkan badan menjadi lemas/rileks, warnanya putih dan cenderung kuning, tebal dan tidak tipis/fragile, keluar secara memancar/muncrat beberapa kali, baunya seperti mayang kurma atau adonan tepung, dan jika kering baunya seperti putih telur yang mengering.
Perempuan juga mengeluarkan mani, namun tidak disyaratkan harus terpancar seperti laki-laki (Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64). Jika terdapat salah satu atau beberapa sifat tersebut, maka seseorang berada dalam kondisi tidak suci (hadats besar) dan menimbulkan konsekuensi hukum berupa batalnya puasa jika hal tersebut dilakukan dengan sengaja.
Sedangkan madzi adalah cairan yang sifatnya tipis, kental, dan transparan. Ia keluar ketika sedang bercumbu rayu atau ketika mengingat dan ingin melakukan jima’, melihat dan atau membayangkannya. Ia keluar seperti tetesan air dan terkadang tidak dirasakan oleh orang yang mengalami dan juga tidak menyebabkan lemas (futhur). Laki-laki dan perempuan sama-sama mengeluarkan madzi (Lihat fatwa al-Lajnah ad-Daimah, no. 4262). Adapun konsekuensi yang ditimbulkan adalah wajib mencuci kemaluannya dan ia berada dalam kondisi tidak suci (hadats kecil). Hal ini sebagaimana riwayat dari Ali ra:
Sedangkan madzi adalah cairan yang sifatnya tipis, kental, dan transparan. Ia keluar ketika sedang bercumbu rayu atau ketika mengingat dan ingin melakukan jima’, melihat dan atau membayangkannya. Ia keluar seperti tetesan air dan terkadang tidak dirasakan oleh orang yang mengalami dan juga tidak menyebabkan lemas (futhur). Laki-laki dan perempuan sama-sama mengeluarkan madzi (Lihat fatwa al-Lajnah ad-Daimah, no. 4262). Adapun konsekuensi yang ditimbulkan adalah wajib mencuci kemaluannya dan ia berada dalam kondisi tidak suci (hadats kecil). Hal ini sebagaimana riwayat dari Ali ra:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ فِيهِ الوُضُوءُ
“Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata; Aku adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi. Aku memerintahkan al-Miqdan bin al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi saw. Kemudian ia bertanya kepada beliau dan bersabda: ‘Di dalamnya terdapat (kewajiban) wudlu (H.R. al-Bukhari no. 132, 178, 269, dan Muslim no. 303; terdapat tambahan lafal “Ia mencuci kemaluannya kemudian berwudlu”).”
Adapun wadi adalah cairan yang keluar -pada umumnya- sesudah buang air kecil, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Mani hukumnya tidak najis, berbeda dengan madzi dan wadi.
Adapun tentang keluarnya madzi, Imam Ibnu Qudamah berkata:
وذهب أبو حنيفة والشافعي إلى أن نزول المذي لا يفطر به مطلقا سواء نزل بمباشرة أم بغيرها وأن المفسد للصيام هو نزول المني لا المذي
“Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’I berpendapat, keluarnya madzi sama sekali tidak membatalkan puasa, baik karena sebab bercumbu maupun selainnya. Sebab yang merusak puasa adalah keluarnya mani (dengan sengaja –pent), bukan madzi (Lihat al-Mughni, IV: 363).”
Imam an-Nawawi berkata:
لو قبل امرأة وتلذذ فأمذى ولم يمن لم يفطر عندنا بلا خلاف
“Sekiranya seorang suami mencium istrinya dan terasa nikmat, kemudian ia mengelurkan madzi dan tidak mengeluarkan mani, maka puasanya tidak batal menurut kami (ulama madzhab Syafi’i) tanpa ada perselisihan (Lihat kitab al-Majmu’, VI: 323. Lihat juga penjelasan beliau pada hal. 349).”
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah berkata:
ولا يفطر بمذي بسبب قبلة أو لمس أو تكرار نظر وهو قول أبي حنيفة والشافعي وبعض أصحابنا
“Puasa seseorang tidak batal karena madzi yang disebabkan oleh ciuman, sentuhan, atau melihat (perempuan) berulang kali. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan sebagian sahabat kami (ulama madzhab Hanbali) (Lihat al-Ikhtiyaaraat, hal. 56).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, keluarnya madzi tidak menyebabkan puasa seseorang menjadi batal. Sebab puasa adalah ibadah syar’i yang diwajibkan kepada manusia (muslim) sehingga ia tidak rusak/batal kecuali ada dalil yang menjelaskan (lihat asy-Syarh al-Mumti’, VI: 390).
Meskipun demikian, seorang muslim mempunyai kewajiban untuk menjaga puasa yang sedang dijalankan, terlebih lagi Ramadhan. Jika seorang tidak mampu menguasai dirinya dari gejolak nafsu, maka makruh baginya bercumbu rayu dengan istri, dan bahkan haram jika sampai menyebabkan keluarnya mani dan wajib mengqadla puasanya di hari yang lain. Dan akan menjadi sangat baik jika ia menyibukkan diri dengan memperbanyak amal saleh sehingga -paling tidak- dapat mencegahnya dari pikiran dan atau tindakan yang berpotensi merusak puasanya. Sebab Allah swt memberikan kelapangan dan keluasan bagi orang yang berpuasa -termasuk Ramadhan- untuk melakukan aktivitas seksual hingga waktu fajar, dimana ia tidak perlu merasa was-was dengan pembatal dan atau perusak puasa. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 komentar:
Post a Comment