يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Dia meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku (HR. al-Bukhari no. 1904, 5927, dan Muslim no. 1151).”
Sehingga sudah sepatutnya setiap muslim menjaga diri dari faktor-faktor pendorong datangnya syahwat, baik dari penglihatan, pendengaran, hati, dan pikiran dengan selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan memunculkan rasa muraqabah (selalu diawasi) dalam setiap gerak dan langkah.
Namun terkadang manusia terjerumus ke dalam sebuah kemaksiatan meskipun dia sedang melaksanakan suatu ibadah. Salah satunya adalah onani ketika sedang melaksanakan puasa (Ramadhan). Kalau sudah terjadi, bagaimana syari’at Islam memandang perbuatan ini? Dan bagaimana dengan puasa yang sedang dikerjakan? Berikut pembahasan singkatnya.
Hal yang perlu menjadi perhatikan terlebih dahulu adalah onani haram hukumnya, baik ketika puasa maupun tidak. Hal ini sebagaimana firman Allah:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya (wanita) yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka pada demikian itu tidaklah tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas [Q.S. al-Mukminun (23): 5-7].”
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat ini adalah orang yang berzina dan orang yang melampaui (batas) yang halal kepada yang haram (Tafsir ath-Thabari, XIX: 11), termasuk didalamnya adalah orang yang menyalurkan syahwatnya selain terhadap istri dan budak perempuan yang ia miliki (Tafsir Ibnu Katsir, V: 404). Dan hal ini juga berlaku sebaliknya (terhadap perempuan) dengan catatan ia hanya boleh menyalurkan hasrat biologisnya kepada suaminya yang sah.
Kemudian bagaimana dengan puasa yang ia jalankan? Berkaitan dengan hal itu, berikut kami kutip fatwa no. 18199 dari asy-Syabakah al-Islamiyyah:
Para ulama berbeda pendapat tentang (hukum) orang yang melakukan onani ketika sedang puasa, apakah puasa yang dilakukan rusak/batal atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kegiatan onani merusak (ibadah) puasa. Ini adalah pendapat yang kuat sesuai dengan sabda Rasulallah saw dia meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 1904, 5927, dan Muslim no. 1151 -pent). Sedangkan orang yang melakukan onani (berarti) belum meninggalkan syahwatnya.
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya (wanita) yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka pada demikian itu tidaklah tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas [Q.S. al-Mukminun (23): 5-7].”
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat ini adalah orang yang berzina dan orang yang melampaui (batas) yang halal kepada yang haram (Tafsir ath-Thabari, XIX: 11), termasuk didalamnya adalah orang yang menyalurkan syahwatnya selain terhadap istri dan budak perempuan yang ia miliki (Tafsir Ibnu Katsir, V: 404). Dan hal ini juga berlaku sebaliknya (terhadap perempuan) dengan catatan ia hanya boleh menyalurkan hasrat biologisnya kepada suaminya yang sah.
Kemudian bagaimana dengan puasa yang ia jalankan? Berkaitan dengan hal itu, berikut kami kutip fatwa no. 18199 dari asy-Syabakah al-Islamiyyah:
فقد اختلف أهل العلم فيمن استمنى وهو صائم هل يفسد صومه أو لا؟ فذهب جمهورهم إلى أنه يفسد صومه، وهذا هو القول الراجح لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الصائم:يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلي رواه البخاري. ومن استمنى فلم يترك شهوته
Para ulama berbeda pendapat tentang (hukum) orang yang melakukan onani ketika sedang puasa, apakah puasa yang dilakukan rusak/batal atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kegiatan onani merusak (ibadah) puasa. Ini adalah pendapat yang kuat sesuai dengan sabda Rasulallah saw dia meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 1904, 5927, dan Muslim no. 1151 -pent). Sedangkan orang yang melakukan onani (berarti) belum meninggalkan syahwatnya.
وهذا فيمن تعمد الاستمناء مع علمه بأنه مفطر، أما إذا كان لا يعلم أن الاستمناء مفطر فلا شيء عليه وهو كمن أكل أو شرب ناسياً وقد نص على ذلك جماعة من أهل العلم. قال البدر الزركشي في المنثور في القواعد: لو أكل أو شرب جاهلاً بالتحريم وكان يجهل مثل ذلك لم يفطر وإلا أفطر.... وفي الموسوعة الفقهية: وقالت الشافعية: لو جهل تحريم الطعام أو الوطء بأن كان قريب عهد بالإسلام أو نشأ بعيداً عن العلماء لم يفطر، كما لو غلب عليه القيء.انتهى
Ketentuan ini berlaku bagi orang yang melakukan onani dengan sengaja dan dia mengetahui bahwa hal tersebut membatalkan puasa. Adapun jika ia tidak tahu maka itu tidak mengapa, seperti halnya orang yang makan dan minum (ketika puasa) karena lupa. Hal ini sebagaimana yang ditetapkan oleh sebagian ulama. Imam al-Badr az-Zarkasyi -dalam kitab al-Mantsuur Fii al-Qawaaid- berkata: Sekiranya (orang yang berpuasa) makan atau minum karena tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah diharamkan -dan hal yang semisal dengannya- maka puasanya tidak batal, dan juga (berlaku) sebaliknya. Didalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah; Ulama Syafi’iyyah berkata: Sekiranya (orang yang berpuasa) tidak mengetahui tentang haramnya makan (dan minum) atau hubungan badan, karena baru masuk Islam atau tumbuh kembangnya jauh dari ulama misalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa. (Hal ini) seperti orang yang terpaksa (tidak mampu menahan) muntah.
Jumhur ulama yang berpendapat bahwa onani dengan sengaja membatalkan puasa (Ramadhan) juga berselisih pendapat dalam hal lainnya; apakah ia (orang yang melakukan onani) wajib melakukan kafarat (hukuman karena berhubungan badan ketika puasa Ramadhan –pent) dan qadla (mengganti di hari yang lain) atau cukup hanya melaksanakan qadla? Mayoritas berpendapat cukup dengan qadla disertai dengan taubat dan memohon ampun (kepada Allah swt). Sedangkan ulama madzhab Maliki berpendapat wajibnya qadla dan kafarat. Sebab kafarat -menurut ulama madzhab Maliki- wajib bagi orang yang sengaja merusak puasa (Ramadhan)nya. Namun pendapat yang rajih adalah tidak ada kewajiban kafarat, karena hanya jima’ yang menjadi sebab orang melakukan kafarat sesuai dengan dalil. (Selain itu) nash tentang kafarat hanya ada pada perkara jima’ sehingga yang lainnya tidak dapat disamakan. Dan jima’ adalah perkara yang lebih besar (dari onani), oleh karenanya (kafarat) hanya ada padanya.
Lalu, bagaimana jika orang yang melakukan onani sedang melaksanakan puasa sunnah? Untuk hal ini, sebagian ulama berpendapat ia tetap wajib mengqadla puasa sunnahnya di hari yang lain. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tidak wajib mengqadla puasa sunnahnya. Hal ini sebagaimana hadits:
“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Suatu hari Rasulallah saw datang kepadaku kemudian beliau berkata: ‘Apakah engkau punya suatu (makanan)?’ Aku pun menjawab: ‘Tidak ada.’ Beliau pun membalas: ‘Kalau begitu aku berpuasa.’ Hari itu pun berlalu dan kami memperoleh hadiah berupa al-hais lalu aku pun menyisihkannya untuk beliau. Dan Rasulallah saw menyukai al-hais. ‘Aisyah berkata: ‘Wahai Rasulallah, kita mendapat hadiah al-hais dan telah aku siapkan untukmu. Rasul saw menjawab: ‘Bawa kemari! Sungguh pagi ini aku dalam keadaan puasa.’ Lalu beliau bersabda: ‘Perumpamaan orang yang melakukan puasa sunnah seperti orang yang mengeluarkan sadaqah dari hartanya. Jika ia mau, ia bisa mengeluarkannya. Dan jika tidak, ia bisa menahannya [H.R. an-Nasaai no. 2322. Syaikh al-Albani mengatakan hadist ini hasan (lihat Irwaa’ al-Ghalil, VI: 135, hadits no. 965)].”
Riwayat ini menjelaskan bahwa Nabi saw membatalkan puasa sunnah yang sedang beliau lakukan. Hal ini yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang menyatakan tidak wajib qadla puasa sunnah.
Meskipun demikian, bukan berarti kita boleh dengan gampang membatalkan suatu ibadah meskipun itu hanya bersifat sunnah. Terlebih lagi jika kita membatalkannya dengan perkara yang dilarang, tentu itu merupakan hal yang buruk bahkan bisa masuk dalam kategori meremehkan suatu ibadah jika disertai dengan niat yang dominan dan atau dilakukan berulang-ulang. Jika tidak ada hajat yang mengharuskan untuk membatalkannya -misal menghormati tuan rumah yang telah menghidangkan makanan apabila dikhawatirkan tuan rumah tersinggung jika kita tidak ikut menyantap makanan- maka sudah selayaknya ibadah sunnah tersebut kita sempurnakan.
واختلف الجمهور الذين قالوا: إن من تعمد الاستمناء يفطر. أقول : اختلف هؤلاء هل تجب عليه الكفارة مع القضاء أم يكفيه القضاء؟ فذهب أكثرهم إلى أنه يكفيه القضاء مع التوبة والاستغفار ولا كفارة عليه، وذهب المالكية إلى وجوب القضاء والكفارة عليه، لأن الكفارة عندهم تجب بتعمد إفساد الصوم، والراجح عدم وجوبها لأنه لا دليل على إلزام من أفسد صومه تعمداً بغير جماع بها، ولأن النص ورد في الجماع فلا يقاس عليه غيره لأنه أغلظ من غيره فيقتصر عليه.
Jumhur ulama yang berpendapat bahwa onani dengan sengaja membatalkan puasa (Ramadhan) juga berselisih pendapat dalam hal lainnya; apakah ia (orang yang melakukan onani) wajib melakukan kafarat (hukuman karena berhubungan badan ketika puasa Ramadhan –pent) dan qadla (mengganti di hari yang lain) atau cukup hanya melaksanakan qadla? Mayoritas berpendapat cukup dengan qadla disertai dengan taubat dan memohon ampun (kepada Allah swt). Sedangkan ulama madzhab Maliki berpendapat wajibnya qadla dan kafarat. Sebab kafarat -menurut ulama madzhab Maliki- wajib bagi orang yang sengaja merusak puasa (Ramadhan)nya. Namun pendapat yang rajih adalah tidak ada kewajiban kafarat, karena hanya jima’ yang menjadi sebab orang melakukan kafarat sesuai dengan dalil. (Selain itu) nash tentang kafarat hanya ada pada perkara jima’ sehingga yang lainnya tidak dapat disamakan. Dan jima’ adalah perkara yang lebih besar (dari onani), oleh karenanya (kafarat) hanya ada padanya.
Lalu, bagaimana jika orang yang melakukan onani sedang melaksanakan puasa sunnah? Untuk hal ini, sebagian ulama berpendapat ia tetap wajib mengqadla puasa sunnahnya di hari yang lain. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tidak wajib mengqadla puasa sunnahnya. Hal ini sebagaimana hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْتُ لَا قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ ثُمَّ مَرَّ بِي بَعْدَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَقَدْ أُهْدِيَ إِلَيَّ حَيْسٌ فَخَبَأْتُ لَهُ مِنْهُ وَكَانَ يُحِبُّ الْحَيْسَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَخَبَأْتُ لَكَ مِنْهُ قَالَ أَدْنِيهِ أَمَا إِنِّي قَدْ أَصْبَحْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا مَثَلُ صَوْمِ الْمُتَطَوِّعِ مَثَلُ الرَّجُلِ يُخْرِجُ مِنْ مَالِهِ الصَّدَقَةَ فَإِنْ شَاءَ أَمْضَاهَا وَإِنْ شَاءَ حَبَسَهَا
“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Suatu hari Rasulallah saw datang kepadaku kemudian beliau berkata: ‘Apakah engkau punya suatu (makanan)?’ Aku pun menjawab: ‘Tidak ada.’ Beliau pun membalas: ‘Kalau begitu aku berpuasa.’ Hari itu pun berlalu dan kami memperoleh hadiah berupa al-hais lalu aku pun menyisihkannya untuk beliau. Dan Rasulallah saw menyukai al-hais. ‘Aisyah berkata: ‘Wahai Rasulallah, kita mendapat hadiah al-hais dan telah aku siapkan untukmu. Rasul saw menjawab: ‘Bawa kemari! Sungguh pagi ini aku dalam keadaan puasa.’ Lalu beliau bersabda: ‘Perumpamaan orang yang melakukan puasa sunnah seperti orang yang mengeluarkan sadaqah dari hartanya. Jika ia mau, ia bisa mengeluarkannya. Dan jika tidak, ia bisa menahannya [H.R. an-Nasaai no. 2322. Syaikh al-Albani mengatakan hadist ini hasan (lihat Irwaa’ al-Ghalil, VI: 135, hadits no. 965)].”
Riwayat ini menjelaskan bahwa Nabi saw membatalkan puasa sunnah yang sedang beliau lakukan. Hal ini yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang menyatakan tidak wajib qadla puasa sunnah.
Meskipun demikian, bukan berarti kita boleh dengan gampang membatalkan suatu ibadah meskipun itu hanya bersifat sunnah. Terlebih lagi jika kita membatalkannya dengan perkara yang dilarang, tentu itu merupakan hal yang buruk bahkan bisa masuk dalam kategori meremehkan suatu ibadah jika disertai dengan niat yang dominan dan atau dilakukan berulang-ulang. Jika tidak ada hajat yang mengharuskan untuk membatalkannya -misal menghormati tuan rumah yang telah menghidangkan makanan apabila dikhawatirkan tuan rumah tersinggung jika kita tidak ikut menyantap makanan- maka sudah selayaknya ibadah sunnah tersebut kita sempurnakan.
0 komentar:
Post a Comment