Hukum Mencium Istri Saat Puasa - Salah satu hal yang harus diperhatikan bagi orang yang melaksanakan puasa (terlebih puasa wajib dan atau Ramadhan) adalah mengontrol dan menahan syahwat dan amarahnya.
Sebab salah satu hal yang dapat membatalkan puasa adalah jima’, dimana pelakunya diwajibkan untuk membayar kafarah berupa berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memerdekakan seorang budak mukminah, atau memberi makan 60 orang miskin dengan -takaran minimal- sebanyak setengah sha’ dari makanan pokok yang dimakan di negeri tersebut. Mengingat besarnya ancaman dalam hal ini, maka sudah sepatutnya setiap Muslim yang berpuasa memperhatikan sebab-sebab yang berpotensi menjadi penyebab batalnya puasa.
Namun ada kalanya timbul dorongan syahwat -misal mencium istri- dari orang yang berpuasa sebagaimana yang pernah dialami oleh Umar bin Khatab. Lalu, bagaimana pengaruh perbuatan ini terhadap puasa yang dilakukan (Ramadhan)? Apakah puasanya batal dan wajib mengqadla bahkan kafarat? Berikut paparan singkatnya.
Suatu ketika, sahabat Umar ra pernah mengadu kepada Rasulallah saw:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Umar bin al-Khattab ra, ia berkata; ‘Pada suatu hari nafsuku bergejolak kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata’, ‘Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?’ Aku menjawab, ‘Seperti itu tidak mengapa.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lalu apa masalahnya?’ [H.R. Ahmad (138, 372), al-Baihaqi (8018, 8255), Ibnu Khuzaimah (1999). Syaikh Syu’aib al-Atnauth mengatakan sanad hadits ini shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim].”
Dalam Riwayat yang lain, ‘Aisyah ra menuturkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
“Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata; Rasulallah saw pernah mencium dan mencumbu istrinya ketika sedang berpuasa. Namun (memang) beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya (H.R. AL-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106).”
عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنَ امْرَأَتِهِ صَائِمًا قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الْجِمَاعَ
“Dari Masruq, ia berkata; ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah ra (tentang) apa hal yang boleh dilakukan seorang laki-laki terhadap istrinya ketika sedang berpuasa?’ Beliau menjawab: ‘Semuanya boleh kecuali jima’ (bersetubuh) (Mushannaf ‘Abd ar-Razzaq no. 7439. Syaikh al-Albani -dalam kitab Tamaam al-Minnah Fii Ta’liiq ‘Ala Fiqh as-Sunnah- mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Baari).
Ketiga riwayat diatas secara tersirat memberi gambaran tentang bolehnya seseorang untuk mencium -bahkan mencumbu- istrinya di siang hari ketika puasa asal tidak sampai melakukan jima’ dan atau menyebabkan keluarnya mani (al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, VII: 215). Meskipun boleh secara prinsip, namun para ulama memberikan batasan yang ketat terkait dengan masalah ini.
Mereka membahas secara panjang lebar tentang hukum mencium dan mencumbu istri ketika puasa (Ramadhan) dan juga siapa yang boleh dan tidak boleh melakukannya. Sebagian golongan membolehkan secara mutlak, ada yang memakruhkan secara mutlak -pendapat ini disandarkan pada Malikiyyah- , dan ada pula yang memberi kriteria berupa batasan usia; dibolehkan bagi yang tua dan dimakruhkan -bahkan haram- bagi yang masih muda, sebab mereka lebih rawan akan gejolak syahwat (lihat Nail al-Authar, IV: 250).
Semua pendapat ini dikemukakan dalam rangka menutup terjadinya keburukan (sad adz-dzari’ah) berupa batalnya puasa orang yang mencium dan atau mencumbu. Oleh karenanya, bagi yang yakin bisa mengendalikan gejolak nafsunya, tidak mengapa untuk mencium atau mencumbu istri ketika puasa. Namun bagi yang tidak yakin akan selamat dari batalnya puasa, silahkan untuk menghindari hal ini. Termasuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada aktivitas mencium dan bercumbu.
Adapun jika aktivitas mencium dan mencumbu sampai menyebabkan keluarnya mani, maka ia wajib mengqadla (mengganti) puasanya di hari yang lain namun tidak wajib membayar kafarat (denda karena berhubungan intim di siang hari Ramadhan) (al-Majmu’, VI: 257).
Kesimpulannya, orang yang sedang berpuasa wajib menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan atau merusak (pahala) puasanya, meskipun secara prinsip hal tersebut dibolehkan secara syari’at. Salah satunya adalah mencium dan mencumbu, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Adapun jika aktivitas mencium dan mencumbu sampai menyebabkan keluarnya mani, maka ia wajib mengqadla (mengganti) puasanya di hari yang lain namun tidak wajib membayar kafarat (denda karena berhubungan intim di siang hari Ramadhan) (al-Majmu’, VI: 257).
Kesimpulannya, orang yang sedang berpuasa wajib menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan atau merusak (pahala) puasanya, meskipun secara prinsip hal tersebut dibolehkan secara syari’at. Salah satunya adalah mencium dan mencumbu, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Selain itu, Allah masih memberi kelapangan bagi pasangan suami istri di malam hari untuk menunaikan apa yang memang menjadi hak mereka berdua. Semua pendapat dan pandangan terkait dengan masalah ini –terutama yang memakruhkan bahkan mengharamkan- adalah dalam rangka untuk menjaga kualitas puasa seorang hamba dan menjauhkan mereka dari hal-hal yang berpotensi menjadi penyebab puasa menjadi batal atau rusak.
Untuk menghindari hal ini, kita bisa mengalihkannya pada melakukan berbagai amal shaleh seperti membaca al-Qur’an, berzkirir, i’tikaf di masjid, dan sebagainya.
Wallahu ‘alam bi ash-shawab.
Untuk menghindari hal ini, kita bisa mengalihkannya pada melakukan berbagai amal shaleh seperti membaca al-Qur’an, berzkirir, i’tikaf di masjid, dan sebagainya.
Wallahu ‘alam bi ash-shawab.
0 komentar:
Post a Comment