Hukum Menggunakan Obat Tetes Mata, Telinga, dan Hidung Saat Puasa Ramadhan

Perkembangan dunia medis semakin memberi kumudahan bagi banyak orang. Hal ini ditandai dengan banyaknya alternatif obat dan penyembuhan yang ditawarkan. Meskipun tidak semua kalangan dapat mengaksesnya karena beberapa alasan dan pertimbangan.

Beberapa hasil penemuan tersebut diantaranya obat tetes, baik untuk mata, telinga, maupun hidung. Masing-masing memiliki manfaat dan kegunaan sesuai dengan proporsi masing-masing.

Namun penemuan obat-obatan tersebut juga membutuhkan pertimbangan agama (Syari’at). Bentuknya adalah tinjauan halal dan haram atau membatalkan atau tidak membatalkan jika melekat dengan suatu ibadah tertentu, seperti puasa. Berikut ulasan tentang penggunaan obat tetes tersebut bagi orang yang berpuasa.

Hukum Menggunakan Obat Tetes Mata 

Hukum penggunaan obat tetes mata -jika dilacak dalam literatur fikih- hampir sama dengan bahasan tentang penggunaan celak mata ketika puasa. Sebagian ulama membolehkan dan sebagian lainnya melarang. Para ahli fikih berbeda pendapat tentang benda (cair) yang dimasukkan ke mata, seperti celak dan semisalnya; apakah membatalkan puasa atau tidak. Perbedaan ini juga dilatari oleh sebab lainnya, yaitu apakah mata memiliki saluran (ke kerongkongan) seperti halnya mulut.

Ulama madzhab Hanafi (lihat kitab al-mabsuth, III: 67 dan Tabyin al-Haqaiq, I: 323) dan Syafi’i (Lihat kitab al-Umm, II: 101 dan al-Majmu’, VI: 363) berpendapat, tidak terdapat saluran antara mata dan kerongkongan atau antara otak dan kerongkongan.

Berdasarkan hal ini, benda cair yang masuk ke mata tidak menyebabkan batal puasa. Sedangkan ulama madzhab Maliki (lihat kitab at-Taj wa al-Iklil, II: 425 dan Syarh Mukhtashar Khalil li al-Khursyi, II: 244) dan Hanbali (lihat kitab al-Mughni III: 19 dan al-Furu’, III: 46) berpendapat bahwa mata memiliki saluran (sampai ke kerongkongan) seperti halnya mulut dan hidung. Sehingga apabila orang yang berpuasa memakai celak mata lalu ia mendapati rasanya di dalam kerongkongan, maka puasanya batal.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah telah membahas perselisihan para ulama dalam hal ini. Beliau berkata, perkara celak mata diperselisihkan oleh para ulama, dan pendapat yang lebih jelas adalah ia tidak membatalkan puasa. Sebab puasa merupakan (bagian dari) agama kaum Muslimin yang wajib diketahui secara umum dan mendetail.

Sekiranya hal ini (menggunakan celak mata ketika puasa –pent) termasuk perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menyebabkan rusaknya puasa, maka tentu Rasulallah saw wajib menjelaskan kepada para Sahabat dan kemudian mereka menjelaskannya kepada umat sebagaimana syari’at yang lain. 

Sedangkan tidak ada satu pun ulama yang menukil riwayat dari Nabi saw, baik (dari) hadist shahih, dlaif, musnad (disandarkan kepada Sahabat) maupun mursal (hanya sampai kepada Tabi’in), maka (dengan demikian) diketahui bahwa beliau saw tidak menyebutkan apapun tentang hal ini. 

Perlu kita ketahui, perkara yang telah umum dikenal di masyarakat (مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى) seperti menggunakan celak mata, mengoleskan lemak di tubuh, dan berobat dengan uap harus diketahui dalilnya apabila hendak dijadikan sebagai pembatal puasa. 

Apabila tidak ada -padahal telah diketahui bahwa uap yang digunakan untuk berobat terkadang sampai ke hidung dan masuk ke otak, lemak yang dioleskan diserap oleh tubuh sehingga menimbulkan efek segar/kuat, begitu pula efek bugar yang ditimbulkan karena berobat- maka hal itu menunjukkan bolehnya berobat, menggunakan uap, atau melumuri badan dengan lemak. Begitu pula dalam hal penggunaan celak mata (lihat Majmu’atul Fatawa, XXVI: 234-234, dengan beberapa penyesuaian).

Adapun ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa terdapat saluran (syaraf) yang menghubungkan mata, hidung, hingga ke faring/hulu kerongkongan. Hal ini (pula) yang menyebabkan perbedaan pendapat para ulama masa kini (al-mu’ashirun) ke dalam dua kelompok; apakah tetes mata membatalkan puasa atau tidak.

Kelompok ulama pertama berpendapat, tetes mata tidak membatalkan puasa. Adapun yang menjadi sandaran/dalil adalah sebagai berikut:

1. Rongga mata bagian dalam tidak dapat menampung lebih dari satu tetes, dan ukuran satu tetes adalah sangat kecil sekali (kira-kira 0.06 cm3). Dan ukuran satu tetes tidak akan sampai ke lambung sebab semuanya terserap oleh saluran lakrimal (القناة الدمعية). Meskipun sampai ke lambung, jumlahnya sangat kecil dan hal ini dimaklumi, sebagaimana sisa air yang tertinggal ketika berkumur (lihat majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami, edisi ke-10, II: 329, 369).

2. Semua tetesan terserap oleh mata sehingga tidak sampai ke lambung (dalam kondisi normal –pent). Adapun rasa yang ia dapati di mulutnya, adalah karena tetes mata tidak seluruhnya terserap sehingga sampai ke pangkal kerongkongan sehingga bisa dirasakan oleh lidah. Sehingga orang yang sakit merasakan hal ini sebagaimana yang ditetapkan oleh sebagian dokter (lihat majalah (lihat majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami, edisi ke-10, II: 369). Kondisi ini menandakan orang tersebut mengalami sakit yang serius.

3. Tetes mata tidak membatalkan puasa karena tidak ada nash yang tersirat maupun tersurat tentangnya. Mata bukanlah saluran untuk makanan dan minuman. Sekiranya seseorang melumuri kedua kakinya (dengan obat dan lainnya –pent) lalu ia mendapati rasanya di tenggorokan, maka hal ini tidak membatalkan puasa; karena kulit bukanlah saluran makanan. Demikian pula apabila seseorang memberi tetesan pada matanya (lihat majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami, edisi ke-10, II: 39, 82).

Adapun kelompok ulama kedua mengatakan, tetes mata menyebabkan puasa menjadi rusak apabila sampai ke kerongkongannya. Mereka menyamakan dengan celak mata yang sampai (terasa) di kerongkongan.

Berdasarkan pemaparan diatas, pendapat yang nampak jelas adalah penggunaan tetes mata tidak membatalkan puasa. Adapun meng-qiyas-kan tetes mata dengan celak, terdapat beberapa pendapat dalam hal ini. Sebab pendapat tentang batalnya puasa karena menggunakan celak mata adalah masalah yang diperselisihkan -sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah-. Sehingga, persoalan yang masih diperselisihkan hukumnya tidak dapat dijadikan patokan qiyas.

Namun di atas semuanya, menunda penggunaan obat tetes mata -jika memungkinkan- adalah jalan terbaik sebagai cara untuk keluar dari perselisihan pendapat. Dan tidak mengapa jika ia mengqadla puasa yang ia ragukan karena telah melakukan tetes mata (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibn Baaz, XV: 263)

Hukum Menggunakan Obat Tetes Telinga


Ulama juga berselisih pendapat tentang tetes telingan; apakah boleh atau tidak jika dikaitkan dengan ibadah puasa. Perbedaan pandangan ini bisa dilacak pada bahasan mereka tentang “apabila seseorang mengobati dirinya dengan air (benda cair) yang dimasukkan kedalam telingan.” Adapun paparan singkatnya sebagai berikut.

Pendapat pertama mengatakan, apabila seseorang menuangkan ad-duhn (lemak nabati atau hewani) atau memasukkan air ke dalam telinganya maka puasanya batal apabila sampai ke otaknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki, riwayat paling shahih dari ulama madzhab Syafi’i, dan juga pendapat madzhab Hanbali.

Pandangan ini didasari oleh suatu keyakinan bahwa benda cair yang dimasukkan ke telinga sampai ke tenggorokan atau otak (kemudian mengalir ke tenggorokan). Inilah landasan dari alasan kelompok ini (untuk selengkapnya lihat Bada’I ash-Shana’i, II: 93, al-Mudawwanah, I: 198, al-Majmu’, VI: 204, dan Syarh al-‘Umdah li Ibn Taimiyyah, I: 387).

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa hal ini (memasukkan benda cair ke telinga) tidak membatalkan puasa. Ini merupakan satu pendapat dari madzhab Syafi’I sebagaimana terdapat dalam kitab al-Majmu’ (VI: 204). Alasan ulama pendukung pendapat ini adalah benda cair yang diteteskan di telinga tidak sampai ke otak dan hanya meresap melalui pori-pori kulit, sehingga tidak membatalkan puasa. 

Namun hal ini berlaku bagi orang dengan pendengaran yang normal. Adapun jika gendang telinganya rusak -sehingga menyebabkan ketersambungan antara telinga dengan faring/hulu kerongkongan melalui pembulus Eustachio- maka hukumnya seperti memasukkan benda cair ke dalam hidung (dan sampai ke hulu kerongkongan).

Singkatnya, boleh melakukan tetes telinga dengan catatan telinga dalam keadaan normal; gendang telinga tidak rusak dan atau saluran dengan faring tidak terbuka. Namun sebagai bentuk kewaspadaan, akan sangat baik jika menunda penggunaan obat tetes telinga hingga datang waktu berbuka puasa. Namun jika tidak memungkinkan -seperti saat sedang proses pengobatan- maka ia boleh menggunakannya dan tidak ada kewajiban qadla baginya.

Hukum Menggunakan Obat Tetes Hidung 

Hidung memiliki saluran ke tenggorokan sebagaimana keterangan dari hadits, eksperien, dan kedokteran modern. Rasulallah saw bersabda:

عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ عن أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي عَنْ الْوُضُوءِ قَالَ أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah, dari bapaknya, ia berkata; Aku bertanya, ‘Wahai Rasulallah, ajarkan aku wudlu.’ Beliau menjawab: ‘Sempurnakanlah wudlu, dan bersungguh-sungguhlah ketika istinsyaq (menghirup air kedalam hidung) kecuali jika engkau sedang berpuasa [H.R. Abu Dawud (142,143,144), at-Tirmidzi (38), an-Nasa’i, I: 66, Ibnu Majah (407), Ahmad (16385) dan Ibnu Hibban (1054)].”

Hadits ini menunjukkan bahwa (rongga) hidung memiliki saluran menuju ke tenggorokan, kemudian ke lambung. Pun kedokteron modern menetapkan hal ini sehingga tidak ada lagi keraguan tentang ketersambungan rongga hidung dengan tenggorokan (lihat Mufatthirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah karya Ahmad al-Khalil, hal. 53).

Adapun tetes hidung dalam kaitannya dengan ibadah puasa, para ulama terbagi dalam dua pandangan sebagai berikut.

Pendapat pertama mengatakan, tetes hidung membatalkan puasa jika sampai ke kerongkongan. Mereka menyandarkan pendapat ini pada sabda Rasulallah saw dari ‘Ashim bin Laqith, sebagaimana tertera diatas. Melalui riwayat ini mereka mengambil dalil bahwa rongga hidung memiliki saluran ke tenggorokan, kemudian ke lambung. Jika demikian halnya, penggunaan tetes hidung dilarang oleh Nabi saw. 

Selain itu, beliau juga melarang seseorang untuk berlebihan dalam ber-istinsyaq ketika puasa yang dimaknai sebagai larangan memasukkan benda apapun ke dalam hidung meskipun hanya sedikit. Sebab kadar air yang masuk karena berlebihan ketika melakukan istinsyaq juga sedikit (lihat Majallah al-Mujamma’ al-Fiqhiy edisi kesepuluh, II: 81).

Pendapat kedua mengatakan, tetes hidung tidak membatalkan dan tidak berpengaruh apapun terhadap puasa. Adapun argumen yang mereka gunakan adalah sebagai berikut:

1. Benda cair yang sampai ke lambung -sebab tetes hidung- adalah sedikit sekali. Sebagai gambaran, sebuah sendok dapat menampung benda cair sebanyak 3-5 cm3, dimana setiap 3 cm3 mengandung 15 tetes, sehingga satu tetes benda cair adalah 0.06 cm3 (Majallah al-Mujamma’ al-Fiqhiy edisi kesepuluh, II: 329). Cairan ini begitu sedikit jika dibanding dengan sisa air yang tertinggal ketika berkumur. Oleh karenanya hal ini dimaklumi sebagaimana sisa air yang tertinggal ketika berkumur.

2. Obat yang masuk dalam jumlah sangat sedikit ini tidak mengenyangkan, sedangkan ‘illah yang dapat membatalkan puasa adalah terdapat sifat menguatkan (التقوية) dan dapat dikonsumsi (التغذية). Adapun tetes hidung bukanlah makan dan atau minum (Majallah al-Mujamma’ al-Fiqhiy edisi kesepuluh, II: 276). Padahal Allah swt mengaitkan pembatal puasa pada makan dan minum.

Kesimpulan dari bahasan ini adalah tetesan ringan yang tidak sampai ke tenggorokan tidak membatalkan puasa. Sebab Rasulallah saw tidak melarang secara mutlak seseorang untuk menghirup air. Yang beliau larang hanyalah berlebihan ketika menghirupnya. 

Adapun tetesan yang banyak dan sampai ke tenggorokan, maka hal ini merusak/membatalkan puasa. Hal ini disamakan dengan larangan berlebihan menghirup air ketika puasa, karena pada hakikatnya berlebihan ketika istinsyaq adalah menyalurkan air ke tenggorokan sehingga tertelan dan menjadi sebab rusaknya puasa.

Sebagai bentuk kehati-hatian, sebaiknya tetes hidung tidak dilakukan ketika puasa. Karena -walau bagaimanapun- rongga hidung memiliki saluran langsung ke tenggorokan dan keadaan ini menjadikan tetes hidung sangat rawan dilakukan.

Adapun jika telah terlanjur dilakukan dan ia dapat merasakan tetesan tersebut di kerongkongannya, silahkan meng-qadla puasanya di hari yang lain sebagai bentuk kehati-hatian terhadap hukum (lihat fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 164955). Wallahu a’lam bi ash-shawab.

0 komentar:

Post a Comment