وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak da yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu [Q.S. al-An’am (6): 17].”
Dan firman Allah swt ketika bercerita tentang Nabi Ibrahim as:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila kau sakit, Dial ah yang menyembuhkanku [Q.S. asy-Syu’ara (26): 80].”
Terkait dengan sakit, ia bisa datang kepada siapa saja dalam kondisi apapun. Termasuk ketika sedang menjalankan ibadah puasa. Seperti sakit gigi yang menyebabkan keluarnya darah secara terus menerus, atau seseorang yang mengalami luka pada bagian dalam hidungnya. Jika dikaitkan dengan puasa, bagaimana keadaan orang yang keluar darah dari hidung dan gusinya? Apakah dapat membatalkan puasa? Berikut pembahasan singkatnya.
Hal yang harus sama kita ketahui terlebih dahulu, orang sakit mempunyai keringanan untuk tidak berpuasa jika ia merasa berat untuk melakukannya, dan haram hukumnya jika dapat membahayakan diri dan jiwanya. Allah swt telah menetapkan syari’at rukhshah bagi orang yang berpuasa sehingga ia tidak merasa payah. Sebab seseorang tidak boleh memberatkan diri sendiri dan juga tidak diperkenankan berbuat hal yang dapat mengundang mudlarat.
Adapun menelan darah adalah termasuk hal yang membatalkan puasa. Namun apabila darah masuk ke tenggorokan dan ia tidak punya kemampuan untuk menolaknya dan juga bukan karena kesengajaan, maka tidak membatalkan puasa. Namun jika sengaja menelannya, maka puasanya batal baik darah berasal dari hidung atau pun mulut.
Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (III: 36) mengatakan, jika ada darah yang mengalir melalui mulutnya kemudian ditelan, maka hal ini membatalkan puasa meskipun darah yang tertelan hanya sedikit. Sebab mulut dihukumi sebagai azh-zhahir (organ luar) sehingga apapun yang tersambung dengan mulut (kemudian masuk ke tenggorokan –pent) adalah membatalkan puasa. Berbeda halnya dengan ludah; sebab tidak mungkin menjaga diri (tidak menelan) dari ludah. Adapun selain ludah, maka kembali pada hukum asal. Oleh karena itu, apabila ada benda najis (darah) yang berada di mulutnya bercampur dengan air liur kemudian ditelan, maka hal yang demikian adalah membatalkan puasa meskipun hanya sedikit. Dan tidak membatalkan jika yang tertelan adalah ludah semata.
Ulama dalam organisasi al-Lajnah ad-Daimah berkata, jika gusi seseorang terluka ketika bersiwak, maka darah yang keluar tidak boleh ditelan dan wajib dikeluarkan. Namun jika masuk ke tenggorokan tanpa usaha dan kesengajaan, maka tidak berdampak apapun pada puasanya. Demikian halnya dengan muntahan jika kembali masuk ke tenggorokan tanpa usaha dan kesengajaan; puasa yang sedang dijalani tetap sah (lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, X: 254).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, jika seseorang mengalami pendarahan pada hidungnya, kemudian sebagian darah masuk ke tenggorokannya dan sebagiannya keluar dari hidung, maka yang demikian tidak membatalkan puasa. Sebab darah yang turun ke tenggorokan terjadi bukan atau kehendaknya dan ia tidak punya kemampuan untuk menolaknya. Pun demikian dengan darah tang keluar; tidak berdampak pada puasa (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, XIX: Soal no. 328).
Pada tempat yang lain beliau menyatakan, keluarnya darah dari gusi tidak member dampak apapun terhadap puasa. Namun orang yang mengalaminya wajib berhati-hati supaya tidak menelan darah. Sebab darah yang keluar bukan sesuatu yang biasa dan bisa ditoleransi (seperti halnya ludah –pent) sehingga menelannya dapat membatalkan puasa. Berbeda dengan menelan ludah; tidak membatalkan puasa. Oleh karenanya, orang yang mencabut gigi ketika puasa wajib berhati-hati dan menjaga diri agar darah tidak sampai ke rongga perutnya mengingat hal demikian merupakan pembatal puasa. Namun jika darah masuk (tasarrub) ke kerongkongan tanpa bisa menolaknya, maka tidak membatalkan puasa. Sebab ia bukanlah orang yang sengaja melakukan hal demikian (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, XIX: soal no. 213).
Berdasarkan pemaparan singkat ini, orang yang berpuasa dianjurlkan untuk mengambil keringanan dari Allah swt (berbuka) jika ia merasa berat. Dan wajib berbuka jika puasa berpotensi membahayakan diri kemudian mengqadla di hari yang lain.
Adapun darah yang berasal dari mulut dan hidung tidak membatalkan puasa selama tidak tertelan dengan sengaja. Dan makna SENGAJA adalah seseorang punya pilihan untuk menghindari hal tersebut namun tidak dilakukannya. Namun jika ada sebagian darah yang masuk dan ia tidak punya kuasa untuk menolaknya (ikhtiyaran) dan bukan juga karena kesengajaan (ta’ammudan), maka puasanya tetap sah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 komentar:
Post a Comment