Wajibkah Qodho Puasa Bagi Wanita Hamil atau Ibu Menyusui?

Wajibkah Qodho Puasa Bagi Wanita Hamil atau Ibu Menyusui - Syari’at Islam dirutunkan untuk dijalankan oleh hamba-Nya yang mukallaf; muslim, baligh, dan berakal sehat. Orang yang hilang akal (gila, pingsan, tidur, koma, dan sebagainya) -misalnya- tidak dibebani kewajiban apapun ketika itu emnimpa dirinya. Inilah salah satu ciri dari syari’at Islam. Ia diterapkan sesuai dengan kondisi orang terkait. Allah swt berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran [Q.S. al-Baqarah (2): 185].”

Dalam sabdanya, Rasulallah saw mengatakan:

حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا وَأَبَا مُوسَى إِلَى اليَمَنِ قَالَ يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلاَ تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا

“Yahya menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dari Sa’id bin Abi Burdah, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi saw mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman, (lalu) beliau bersabda: ‘Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat (manusia) lari. Saling membantulah dan jangan berselisih (H.R. al-Bukhari no. 3038, 4341).”

Terkait dengan puasa, terkadang kondisi seseorang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti sakit, kondisi fisik sudah sangat menurun karena sudah tua, pekerja serabutan yang harus bekerja keras setiap hari untuk mencari nafkah, wanita hamil atau menyusui, dan sebagainya. Tulisan berikut akan membahas tentang puasa (Ramadhan) bagi wanita hamil dan menyusui.

Kondisi wanita hamil dan menyusui bisa kita gambarkan sebagai berikut:

Pertama, tidak terpengaruh dan merasa berat dengan puasa yang dijalankan dan tidak ada kekhawatiran terhadap diri, anak, atau janin yang sedang dikandung. Pada kondisi seperti ini, ia wajib melaksanakan puasa dan tidak boleh membatalkannya.

Kedua, ia khawatir dengan kondisi diri dan atau anaknya, pun merasa berat dan payah jika berpuasa. Jika demikian, ia punya hak untuk berbuka (tidak puasa) dan menggantinya di hari yang lain, bahkan lebih utama jika tidak puasa. Sebagian ulama berpendapat, wanita dalam kondisi hamil atau menyusui wajib berbuka jika khawatir terhadap kesehatan dan keselamatan anaknya. 

Imam al-Mawardi berkata: Wanita yang berada dalam kondisi ini tidak dianjurkan (makruh) untuk berpuasa…. Ibnu Aqil mengatakan, Jika wanita hamil atau menyusui khawatir terhadap janin atau anaknya, maka ia tidak boleh berpuasa. Namun jika tidak, ia tetap wajib puasa. 

Hal ini pun berlaku jika ia khawatir terhadap kondisi dirinya sendiri yang tentunya akan berdampak pada kehamilan atau anaknya yang sedang disusui (lihat al-Inshaf, VII: 382. Lihat pula fatwa dari al-Lajnah ad-Daimah, X: 226).

Kemudian bagaimana konsekuensi hukum bagi wanita hamil atau menyusui jika mereka tidak berpuasa (seperti dijelaskan dalam poin nomor dua)?

Para ulama (juga) berbeda pendapat tentang konsekuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui apabila tidak berpuasa. Rincian singkatnya sebagai berikut:

Pertama, ia hanya wajib mengqadla (mengganti puasa di hari yang lain). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan juga pendapat (yang disandarkan pada) Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini menyandarkan dengan dalil berikut:

عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Dari Abu Qilabah, dari Anas, dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah meletakkan (memberi keringanan) kepada musafir untuk melaksanakan separuh shalat (qashar) dan (tidak) berpuasa. (Begitu pula) wanita hamil dan menyusui [H.R. an-Nasa’i (2274, 2277, 2282) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (909). Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Wa Dla’if Sunan at-Tirmidzi, V: 426).”

Pada riwayat ini, Rasulallah saw menyamakan hukum wanita hamil dan menyusui seperti musafir, dimana ia boleh tidak berpuasa kemudian menggantinya di hari yang lain. Demikian juga dengan wanita hamil dan menyusui.

Selain hadits ini, terdapat juga dalil lainnya yaitu diqiyaskan kepada orang yang sakit, dimana mereka tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain. Demikian juga dengan wanita hamil dan menyusui mengingat kehamilan dan menyusui bukanlah keadaan yang selalu melekat pada wanita (lihat al-Mughni, III: 37 dan al-Majmu’, VI: 273). Pendapat ini juga sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh Bin Baz (Lihat Majmu’ al-Fatawa Syaikh Ibn Baz, XV: 225. Lihat juga Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, X: 220).

Kedua, jika ia khawatir terhadap kondisi diri dan anak atau janinnya, maka yang wajib hanya qadla. Namun apabila hanya khawatir terhadap kondisi anak atau janin, maka ia wajib mengqadla dan memberi makan orang miskin sebanyak hari yang tidak ditinggalkan. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Al-Jashshas menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu ‘Umar.

Ketiga, keduanya (wanita hamil atau menyusui) hanya wajib memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan dan tidak ada qadla. Pendapat ini dipegang oleh Abdullah bin Abbas. Ibnu Qadamah menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Umar (lihat al-Mughni, III: 37). Pendapat ini didukung oleh beberapa dalil sebagai berikut:

عن قتادةَ عن عَزْرَةَ عن سعيد بنِ جبيرٍ عن ابنِ عباس وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ قال كانت رُخْصَةً للشيخِ الكبيرِ والمرأةِ الكبيرة وهما يُطيقان الصيام أن يُفْطِرَا ويُطْعِمَا مكان كُل يومٍ مسكيناً والحُبْلى والمُرْضِعُ إذا خافتا

“Dari Qatadah, dari ‘Azrah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas (tentang ayat) “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang muslim [Q.S. al-Baqarah (2): 184].” Beliau mengatakan (memberi penafsiran): ‘(Ayat ini) adalah keringanan bagi orang tua, baik laki-laki maupun perempuan yang merasa berat melaksanakan puasa agar keduanya berbuka (tidak puasa). (Keduanya) wajib memberi makan orang miskin sebanyak hari yang mereka tinggalkan. Dan (ketentuan ini berlaku) bagi wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir (terhadap kondisi diri atau anaknya) [H.R. Abu Dawud (2318). Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth].”

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dalam Musnadnya, namun ada tambahan sebagai berikut:

عَن سَعِيد بْنِ جُبَير عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَلَى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ثُمَّ نُسِخَتْ وَأُثْبِتَ أَنَّهُمَا إِذَا لَمْ يُطِيقَا الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا وَكان ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ لأُمِّ وَلَدٍ لَهُ حُبْلَى أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّتِي لا تُطِيقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ ولاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

“Dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas (tentang ayat) “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang muslim [Q.S. al-Baqarah (2): 184].” Beliau mengatakan (memberi penafsiran): ‘(Ayat ini) adalah keringanan bagi orang tua, baik laki-laki maupun perempuan yang merasa berat melaksanakan puasa agar keduanya berbuka. (Keduanya) wajib memberi makan orang miskin sebanyak hari yang mereka tinggalkan. Dan (ketentuan ini berlaku) bagi wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir (terhadap kondisi diri atau anaknya). Dan Ibnu ‘Abbas pernah berkata kepada kepada seorang ibu yang sedang hamil; Engkau masuk dalam kategori “orang yang merasa berat menjalankan puasa.” Engkau wajib membayar fidyah dan tidak ada qadla bagimu (H.R. al-Bazzar no. 4996).

Berdasarkan pemaparan diatas, pendapat yang mewajibkan qadla adalah lebih kuat dibanding dengan pendapat yang lain. Hal ini mengingat terdapat riwayat dari Anas bin Malik yang sampai (marfu’) kepada Rasulallah saw; beliau menyamakan kondisi wanita hamil dan menyusui dengan musafir dimana ia dikenai kewajiban mengganti puasanya. Pun demikian wanita hamil dan menyusui kondisinya lebih mirip dengan orang yang sedang sakit; sebab sakit, hamil, dan menyusui bukanlah kondisi yang selalu melekat kepada wanita. Kecuali jika kehamilan terjadi hampir sepanjang tahun dan ia mengalami kesusahan untuk mencari hari guna mengganti puasanya, maka ia dikenai kewajiban fidyah dan dapat dimasukkan dalam golongan orang-orang yang merasa berat sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah: 184. 

Adapun penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini adalah semata-mata pendapat beliau dan tidak disepakati oleh sahabat lainnya, seperti Ali bin Abi Thalib. Pun terdapat dalil marfu’ dari Rasulallah saw yang tidak bersepakat dengan pendapat beliau. Selain itu terdapat riwayat lain dari Ibnu Abbas terkait penafsiran surat al-Baqarah: 184 tanpa ada tambahan “wanita hamil dan menyusui” (lihat Shahih al-Bukhari no. 4505). Apabila demikian halnya, maka mengambil pendapat yang mewajibkan qadla adalah lebih utama.

Wallahu ‘alam bi ash-shawab.

0 komentar:

Post a Comment