Membekali Anak tentang Pernikahan Sebelum Terlambat

Sedang ramai tentang pernikahan Hamish dan Raisa. Di era digital saat ini mungkin bukan hanya orang dewasa yang tahu beritanya. Bahkan anak-anak pun bisa mengaksesnya.
Lalu, sudah pahamkah anak-anak kita terkait apa itu pernikahan? Dan apakah sudah terlintas di benak mereka bagaimana kelak mereka akan menikah?
Berikut tulisan yang sangat inspiratif dari Sarra Risman mengenai bagaimana ia mengenalkan terkait pernikahan kepada anaknya.
***
Senin kemarin, karena anak-anak saya liburkan agar tidak melihat penyembelihan di sekolah, kami pergi jalan-jalan sekeluarga. Sembari menunggu ayahnya liat-liat furniture, saya dan si sulung duduk di display sofa. Daripada bengong…saya memulai pembicaraan, tentunya berkaitan dengan hot topik terkini, seperti biasa.
”Rai, inget Hamish ga?”, saya tanya. 
(Catt penulis: Saya perkenalkan Raia pada Hamish untuk menetralisir stigma bahwa orang cakep harus berkulit putih. Hamish yg berkulit sawo matang seperti dia, bisa juga jadi bintang dan artis karena ketampanannya, walaupun saya sama sekali tidak berniat membuat Raia menjadi artis tentunya. Ini hanya salah satu usaha saya untuk mempertahankan kepercayaan dirinya, karena selama ini dia terus diperbandingkan dengan adik-adik yang sedikit lbh…’cerah’.) 
eniwei… 
“Inget”, jawab Raia pendek.
“Dia nikah lho Rai”. Sambung saya.
“Oh”, jawab Raia lagi.
“Tau ga Rai mas kawin nya berapa?”
“Gak”. 
“Setengah kilo!” ujar saya. 
Muka Raia datar, ga paham akan besarnya emas stengah kilo. 
“500 gram!” seru saya. 
Masih datar. 
Lalu saya ambil kalkulator, saya kalikan 500 dengan 600rb. 
“Wow.. 300jt!” baru dia ternganga. 
“Di dalam islam, Rai” saya mulai ceramah nya, “sebaik-baik perempuan adalah yg ringan maharnya”. 
Belum kelar saya bicara, dia langsung memotong dengan:
‘Jadi, raisa seburuk-buruk perempuan dong?” tanya nya. 
‘Bukan. Kan belum tentu raisa yg minta segitu. Lagipula, itu dalil untuk dipegang kaum perempuan. Kita yg laki2 pegang dalil yang ‘sebaik laki2 adalah yg paling baik pada istrinya. Dan akulah laki2 yg terbaik’, kata Rasulullah. Rasulullah juga waktu menikahi Khadijah memberikan berpuluh unta..”
Saya diam sejenak. 
“Orang ga mungkin sukses mendadak nak. kita harus berusaha jauh2 hari. Jd coba Raia pikirkan Raia mau bisnis apa, agar bisa memberikan yg terbaik untuk istri Raia nanti. Kita mau jg kan jd laki2 terbaik kayak Rasulullah?”
Ceramah mamah Sarrah berhenti di situ. Cukup. 
Biarkan dia pahami, resapi, pikirkan.
Kalau terlalu panjang, apalagi sama anak laki2, ga bakal didengar. Itu saja sudah JAUH dr kapasitas 15 kata yg otaknya bisa serap. 
Saya suka berdiskusi singkat dengan anak2 saya. Memasukkan beberapa hal sekaligus sambil santai bercengkrama. Misalnya dalam pembicaraan di atas saja, sudah masuk 2 dalil, matematika, tanggung jawab sebagai suami, pemahaman akan proses, sepenggal sirah rasul, renungan bisnis dan tentunya info terkini. Diramu singkat dalam satu obrolan sederhana. 
Terlalu cepat membahas pernikahan di usia 10? Kata siapa? Waktu berjalan LEBIH cepat lagi, tanpa terasa. Nanti dia tiba2 sudah 20th dalam sekedipan mata. Sibuk dengan tugas2 kuliahnya di negeri orang (minimal di doa dan bayangan saya). Belum tentu ada kesempatan saya meng-install hal2 yg menurut saya penting untuk dia, seperti mahar yg pantas untuk menghargai anak perempuan orang lain yg sudah susah payah diasuh oleh orangtuanya. Belum tentu ada waktu. Belum tentu ada umur. Instal saja lah dulu apa yg bisa saya Instal. Nanti kalo lupa bisa diulang. Tinggal di re-call, karena sudah pernah diinstall sebelumnya. 
Hari sering berjalan lambat, tapi tahun…berlari. Liat ke belakang. Kadang tidak terasa kita sudah menikah dengan jumlah tahun berangka dua. Tidak terasa anak sudah tiga.. lima.., kemarin rasanya baru lahir.. Kok sekarang sudah tk? tiba2 baligh.. lalu SMA.. Lalu pergi meninggalkan kita dengan pasangannya. Dengan keseharian yg sibuk, apalagi jam skolah anak yg lamanya hampir sama dengan orang yg bekerja, kita suka kehilangan momen mahal bersama. Apalagi kalau kita bekerja di luar rumah. 
Sibuk memastikan pe-er, les dan mengaji, suka lupa hal2 pritil spt ini. Padahal persiapan menikah menurut saya harus dimulai sejak dini, karena itu adalah ibadah terlama, dan dia jadi imam nya pula. Jadi karena banyak yg harus dia tau, waktu ga ada, harus dicicil. Ga bisa terburu-buru dan hanya sibuk menjelang hari H saja. Belum tentu juga pas itu kita nya masih ada. Kalo smua dirapel 3 bln sebelumnya, ketelen informasi nya dengan fitting baju dan pesanan seragam mempelai pria. Belum daftar undangan, pilihan menu catering, dan aransemen bunga. Walah.. Wassalam sajalah. 
Mengasuh,..sejatinya adalah sesuatu yg menyeluruh. Bukan hanya memberi makan dan memakaikan baju. Menyekolahkan dan memberikan mainan2 baru. Oh… Jauhhhhh lebih banyak dari itu. 
Setiap anak bertambah satu, sebagaimana Allah sudah menetapkan rezekinya atasnya ketika ia masih di badan ibu, kedua orangtuanya seharusnya juga terus menambah ilmu. Ya karena itu.. Mengasuh kini tidak sesederhana zaman dahulu. Lagian beda generasi, kudunya semakin meningkat juga kualitasnya atuh. Kalau cuma ngasih makan dan perlindungan, kucing dan kera juga mampu. 
Kita seringkali mempersiapkan anak untuk resepsi. Bukan untuk dunia pernikahan itu sendiri. Setelah tamu pergi, dan wajah sudah tampak biasa lagi, mereka akan menjalani peran suami istri, terkadang tanpa bekal ilmu sama sekali. 
Menikah ga bisa pake metode learn-as-you-go, karena itu sama seperti mengoperasi orang tanpa ilmu kedokteran yg memadai. Padahal ada kemaslahatan jiwa lain di tangan kita. Yang kalau malpraktek, yg sidang langsung bakal Yang Maha. Malpraktek di dunia cuma paling berujung jeruji penjara. Malpraktek yg ini.. Api membara. 70x panasnya. 
Semoga Allah memberikan kita kesempatan, untuk membekali anak2 dengan cukup persiapan, agar menjadi suami istri dan ayah ibu yg mapan,
Agar dapat membesarkan cucu2 kita menghadang tantangan kelak di akhir zaman. 
Mulai sekarang.. Mulai segera.
Pastikan anda tau caranya.




Sumber: (https://www.muslimahzone.id/membekali-anak-tentang-pernikahan-sebelum-terlambat/)

0 komentar:

Post a Comment