Polemik Bid’ah, Upaya Menjelaskan Kembali Secara Proporsional

Polemik Bid’ah; Upaya Menjelaskan Kembali Secara Proporsional
Oleh: Nashir Abdurrahman*

Perbincangan dan pembahasan mengenai bid’ah, sebenarnya telah banyak dijelaskan oleh para ulama dan selesai ditulis dalam kitab-kitab karangan mereka. Diantaranya adalah Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Bid’ah wa al-Nahyu ‘anha,  Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-I’tishâm, Imam Ali bin Nayif al-Syahud dalam kitabnya Mausȗah al-Difâ’ ‘an Rasûlillah,  Dr. Abdul Ilâh bin Husein al-Arfaj dalam kitabnya Mafhûmul Bid’ah, dan banyak ulama lainnya.
Pada hakikatnya, faktor utama yang menyebabkan para ulama banyak menulis tentang bid’ah adalah karena hal ini dianggap sebagai pemecah belah umat. Contoh, dalam kehidupan sosial masyarakat, banyak sekali amalan-amalan yang sudah mentradisi, seperti tahlilan, ziarah kubur, tawasul, maulidan dan sejenisnya tiba-tiba divonis sebagai amalan bid’ah, sesat, dan pelakunya masuk neraka, dengan dalih Nabi SAW. tidak pernah melakukannya. Dan sikap semacam inilah yang membuat perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, karena mudah menuduh muslim lainnya dengan sesat, syirik dan keluar dari Islam.
Berangkat dari fenomena di atas, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengambil sikap tegas dengan menjawab berbagai problematika yang meresahkan masyarakat seputar bid’ah. Berikut adalah sebuah ulasan singkat mengenai hakikat bid’ah, hukum, dan analisanya terkait dalil-dalil seputar bid’ah.
Definisi Bid’ah
  1. Bid’ah menurut bahasa (Etimologi)
Secara bahasa, bid’ah berarti memunculkan hal baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
.قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلا بِكُمْ
“Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu.” (QS. Al-Ahqaf: 9)
Maksud dari lafal (بدعا) pada ayat di atas adalah: “Aku bukan orang yang pertama kali datang kepada kalian dengan risalah dari Allah SWT., kepada para hamba-Nya. Namun, telah banyak para rasul yang telah mendahuluiku (sebelumku).”
  1. Bid’ah menurut istilah (Terminologi/Syariat)
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah telah banyak memberikan definisi secara syariat tentang bid’ah. Diantaranya definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Syâthibi dalam kitab al-I’tishâm. Ia mengatakan bahwa bid’ah adalah sebuah istilah untuk sebuah jalan baru dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syariat, dengan tujuan untuk menciptakan nilai lebih dalam beribadah kepada Allah SWT.”[1] Sedangkan menurut Imam Izzuddin Abd al-Aziz bin Abd al-Salam bid’ah menurut syariat adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) di masa Rasulullah SAW.”[2]
Dari kedua definisi di atas jelas dikatakan bahwa yang dikategorikan dalam hal bid’ah adalah sebuah perbuatan baru –tidak ada pada zaman Nabi SAW.—dan disandarkan kepada agama, sehingga hal itu menyerupai syariat, dengan mengharap bahwa amalan-amalan tersebut mendapatkan nilai tambah. Adapun yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan agama, maka itu bukanlah termasuk bid’ah.
Hadis seputar Bid’ah 
  1. Hadis Jabir r.a.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : أما بعد فإن أصدق الحديث كتاب الله تعالى، وأحسن الهدي هدي محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.
“Dari Jabir bin Abdillah r.a. Rasulullah SAW. bersabda dalam khutbahnya: “Sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah SWT., sebaik-baik petunjuk  adalah petunjuk Muhammad SAW. dan seburuk-buru perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka[3].”
  1. Hadis Aisyah r.a.
وروى البخاري في صحيحه (2697)، ومسلم في صحيحه (1718) عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله:    (( مَن أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردٌّ ))، وفي لفظ لمسلم: مَن عمل عملاً ليس عليه أمرُنا فهو ردّ.
“Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya, dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW., bersabda: “Barangsiapa yang membuat hal baru dalam perkara (agama) kami, yang bukan termasuk darinya, maka hal itu tertolak”. Dan dalam redaksi Muslim: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu hal yang tidak didasarkan pada agama, maka ia tertolak.”
  1. Hadis Jarir r.a.
وعن جرير بن عبد الله- رضي الله عنه- أن رجلاً تصدَّق بصدقة ثم تتابع الناس فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدَه مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ ) . رواه مسلم.
“Dari Jarir bin Abdillah r.a., ada seorang laki-laki bersedekah dan orang-orang mengikutinya bersedekah, lantas Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam maka ia akan memperoleh pahalanya, serta pahala orang-orang yang mengikuti setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan buruk dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” [4]
 Analisa Hadis seputar Bid’ah
Dalam memahami teks hadis seputar bid’ah, perbedaan antara kelompok Ahlussunnah wal Jamaah dan sekte Salafi Wahabi, salah satunya adalah dalam menafsirkan kata “kullu”,  seperti dalam hadis Jabir di atas. Dalam ilmu ushul fikih, kata “kullu” adalah termasuk dari lafal ‘âm (umum). Hal ini sebagaimana bisa kita lihat dalam keterangan Imam al-Zahidi dalam kitab “Talkhĩs al-Ushȗl”: “Kategori ‘âm itu banyak, diantaranya adalah isim, seperti kata “kullu”.
Kemudian, Imam al-Kurani dan Ibnu Hajib dalam kitab “alMukhtashar” memaparkan tentang salah satu kaidah kata yang masih umum saat diterapkan ke dalam teks Al-Quran maupun hadis, ia berkata: “Tidak boleh menggunakan lafal‘âm yang bermakna umum melainkan setelah mengetahui mukhassis (pengkhusus) dari lafal ‘âm tersebut.”[5]
Dalam riwayat Jabir r.a. Rasulullah SAW. menjelaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan redaksi hadis ini masih umum. Oleh karena itu, mayoritas ulama menyatakan bahwa mukhassis dari kalimat “Kullu bid’atin dhalălah” adalah hadis riwayat Aisyah r.a. yaitu:
قال النبي – صلى الله عليه وسلم -: “من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد” رواه الشيخان وأبو داود وابن ماجه حديث عائشة رضي الله عنها.
“Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membuat hal baru dalam perkara (agama) kami, yang bukan termasuk darinya maka hal itu tertolak.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dari hadis Aisyah r.a.)
Kemudian, dalam hadis Aisyah juga, saat ditinjau dari sudut pandang ilmu ushul fikih dalam pembahasan “dalâlah manthûq”, memberikan pengertian bahwa maksud dari perkara baru yang tertolak itu hanyalah perkara baru dalam urusan agama saja, sedangkan yang bukan termasuk urusan agama maka tidak tertolak. Karena kalimat (ما ليس منه) itu merupakan qayyid (pembatas) atau sifat dari hal baru yang tertolak (المحدثة المردودة). Sehingga, ketika hadis ini dilihat dari sudut pandang mafhûm mukhâlafah-nya, memberikan pengertian bahwa segala perkara baru yang ada sandaran agama di dalamnya dan ia tergolong dalam urusan agama, maka tidak tertolak.[6]
Pembagian Bid’ah
Dari keterangan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkara baru dalam urusan agama (bid’ah) itu ada dua macam, yaitu:
  1. Perkara baru yang terkandung di dalam kalimat (ما ليس منه) dan disebut dengan bidah sayyiah (bid’ah yang buruk).
  1. Perkara baru yang terkandung dalam kalimat (ما منه) –sebagai konsekuensi logis mafhûm mukhâlafah—yang disebut dengan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik).
Pembagian bid’ah menjadi dua kategori ini; baik dan buruk, diperkuat dengan hadis Jarir, yaitu:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدَه مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
Rasulullah SAW. menegaskan bahwa siapa saja yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukan setelahnya, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, hadis ini juga memberikan pengertian bahwa Rasulullah SAW. membagi perkara baru menjadi dua bagian; baik dan buruk.
Di sisi lain, makna (سن) dalam hadis tersebut tidak diartikan dengan makna secara syariat, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa ucapan perbuatan ataupun penetapannya. Tapi maksud dari hadis di atas adalah makna secara bahasa, yaitu suatu perbuatan atau amalan.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Ushûl al-Fiqh al-Islâmi bahwa mengalihkan suatu lafal dari makna secara bahasa (etimologi) ke makna secara istilah (terminologi) adalah khilâf al-ashl (menyalahi hukum asal) kecuali ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna secara istilah.[7] Lantas, jika maksud dari (سنة) dalam hadis tersebut adalah sunnah Nabi SAW. secara syariat, maka hal ini akan memberikan pengertian bahwa sunnah Nabi SAW terbagi menjadi dua; ada yang baik dan ada yang buruk -wal ‘iyâdzu billâh.
Ada sejumlah hadis lain yang menyebutkan bahwa lafal (سن) dimaknai secara bahasa sebagaimana dalam hadis Jarir r.a. di atas, yang berarti perbuatan atau amalan. Diantaranya adalah:
  1. Hadis tentang pembunuhan Qabil terhadap Habil
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ ُتقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لأَنَّهُ أَوَّلُ مَن سَنَّ   .
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Tidaklah seseorang melakukan pembunuhan melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) turut menanggung pula dosanya, karena dialah orang yang pertama kali melakukan pembunuhan.”
  1. Hadis Nabi SAW. yang menceritakan tentang kisah sahabat Muadz bin Jabal r.a. ketika terlambat shalat berjamaah. Kemudian Rasulullah , bersabda:
إن مُعاذا قد سَنَّ لكمُ سنَّةَ كذلك فافعلوا.
“Sungguh Muadz telah memulai hal seperti itu maka kerjakanlah.”[8]
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa dalil yang masih bermakna umum tidak bisa diamalkan kecuali adamukhassis-nya, dan mukhassis dari hadis “kullu bid’atin dhalâlah” adalah hadis Aisyah di atas.
Sedangkan dalam realitasnya, kelompok Salafi Wahabi tidak mau mengakui hadis (مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً) adalah hujjah bolehnya membagi bid’ah menjadi dua. Mereka berargumentasi  bahwa asbâbul wurûd  (sebab-sebab diucapkannya hadis) tersebut adalah masalah sedekah, dimana pada saat itu ada seorang laki-laki yang bersedekah kemudian diikuti oleh banyak orang. Maka hadis ini sangat tidak proporsional jika dijadikan sebagai dasar pembagian bid’ah menjadi dua.
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah menjawabya dengan kaidah ushul fikih yang menjelaskan tentang kaidah umum dan khusus dalam memahami teks: “al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bikhusûsh al-sabab”, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).” [9]
Dr. Abdul Ilah bin Husein al-Arfaj dalam kitabnya Mafhûmul Bid’ah, mengatakan bahwa dalam masalah ini, sedikitnya ada tiga kelompok yang berbeda pendapat dalam menginterpretasikan hadis-hadis di atas. Pertama, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa perkara-perkara yang baru sekalipun dalam masalah agama dibagi menjadi dua; baik dan buruk. Kedua, kelompok minoritas mengatakan bahwa semua perkara yang baru dalam agama serta tidak pernah ada di zaman Nabi SAW. dan para sahabat adalah bid’ah yang tercela dan sesat. Ketiga, kelompok yang memandang bahwa semua perkara baru dalam hal agama jika ada dalilnya, maka perkara itu tidak disebut bid’ah melainkan hukum syar’i, adakalanya ia dihukumi wajib, mustahab (dianjurkan) maupun jaiz (boleh).[10]
Kesimpulan dan Penutup
Kesimpulan dari paparan singkat di atas bahwa pada hakikatnya tidak semua bid’ah adalah sesat dan semuanya masuk neraka. Akan tetapi, bid’ah dibagi menjadi dua macam, antara hasanah dan sayyiah, dengan dalil-dalil yang telah disebutkan. Mengingkari pembagian ini berarti mengingkari realitas ijtihad para sahabat, tabiin dan para ulama setelah mereka. Karena setiap generasi pasti memiliki ijtihad-ijtihad baru yang tidak ada di zaman Nabi SAW. namun dianggap perlu untuk konteks zaman mereka.
Semoga dengan hadirnya tulisan singkat ini, bisa sedikit meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah di tengah masyarakat, sehingga umat Islam dapat memahami persoalan ini secara proporsional sebagaimana dipahami oleh para ulama. Wallâhua’lam bi al-shawâb.
*Pelajar Daur al-Lugha Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir
[1] Al-I’tishâmAmtsilah li Bida’i al-Aqâid wa al-Ibâdat, amtsilah li Bidai’i al ‘Aqăid wa al-‘Ibădăt, hal 2, jilid 1.
[2] Ibn Abd Salam, Qawâid al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, (3/172).
[3] Al-Bid’atu wa Atsaruha fi Mihnah al-Muslimiin, (3/2).
[4]  Taisîr al-Quds, (1/44).
[5] ‘Ala al-Dîn Abi al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali, Al-Tahbîr Syarh al-Tahrîr fi Ushûl al-Fiqh (Saudi: Maktabah al-Rusyd), vol. 6, hal. 2839
[6] Abd al-Ilah bin Husein, Mafhumul Bid’ah (Oman: Dâr al-Fath) hal. 95
[8] Abdul Ilah bin Husein, Mafhûmul Bid’ah, hal. 95
[9] Zakariyah bin Ghulam Qadir, Ushûl al-Fiqh ‘ala Manhaj al-Hadîts (Jeddah: Dar al-Kharaz) hal. 96
[10] Abdul Ilah bin Husein, Mafhumul Bid’ah, Darul Fath, 2014 hal. 95

sumber: ruwaqazhar.com/polemik-bidah-upaya-menjelaskan-kembali-secara-proporsional.html

0 komentar:

Post a Comment