Siang dan malam hati
Khadijah telah terpikat oleh Muhammad Amin. Ia selalu mencari alasan untuk
mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu. Ia terbakar dalam
api cinta kepada putra Aminah itu. Siang hari ia selalu gundah dan di malam
hari ia tertidur pulas dalam harapan untuk menyatu dengannya.
Suatu malam, dalam
mimpinya Khadijah melihat matahari berputar-putar di atas Makkah, lalu turun ke
bawah di dalam rumahnya. Ia menceritakan mimpi tidurnya itu kepada Waraqah bin
Naufal. Waraqah menyingkap takbir mimpinya dengan berkata, “Engkau akan menikah
dengan orang agung yang ketenarannya akan mendomisai jagad raya ini.”
Kecintaan kepada
Muhammad Amin adalah kecintaannya kepada kejujuran dan spiritualitas, sebuah
kecintaan kepada Tuhan Muhammad yang selama empat puluh tahun ia selalu
bermunajat kepada-Nya di gua Hira`.
Jangan Anda mengira
bahwa kecintaan putri Khuwailid, seorang wanita terkenal dan terhormat di
Makkah itu adalah sebuah kecintaan fiktif. Atau Anda berpikiran bahwa
kecintaannya bukanlah kecintaan suci dan tak bermakna. Tidaklah demikian. Khadijah
adalah seorang wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api
asmara terhadap Muhammad al-Amin.
Khadijah tidak hanya
terpesona oleh ketampananan Muhammad al-Amin yang menarik hati itu, sebagaimana
kecintaan Zulaikha kepada Yusuf. Ia pernah mendengar dan melihat bahwa jagad
raya ini tenteram karena keberadaannnya.
Persiapan Pernikahan
Abu Thalib sebagai orang
besar di kalangan Quraisy dan dikenal dengan kedermawanan, keberanian, dan
keteguhan jiwa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan keponakannya yang
serba sulit. Ia mengambil keputusan untuk mengutarakan keinginannya kepadanya.
Suatu hari ia berkata kepadanya, “Khadijah putri Khuwailid, salah seorang
saudagar (kaya) Quraisy sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan
tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam (Syiria).
Alangkah baiknya jika engkau memperkenalkan dirimu kepadanya.”
Untuk seorang pemuda
berusia dua puluh lima tahunan seperti Muhammad yang masih dikuasai oleh rasa
malu, usulan semacam itu amatlah berat baginya. Di sisi lain, kepribadian
tinggi yang dimilikinya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal semacam itu.
“Paman, Khadijah telah
mengenal kejujuran dan amanahku. Mungkin ia sendiri yang akan mengutus
seseorang kepadaku untuk mengutarakan usulan seperti usulan Anda itu”, jawabnya
singkat.
Dan memang itulah yang
terjadi. Karena ia sangat mengenal pemuda jujur Makkah itu dan juga mengetahui
kondisi kehidupannya yang serba sulit. Menurut sebagian pendapat, ia juga
mengetahui perundingan yang telah terjadi antara Muhammad al-Amin dan Abu
Thalib. Ia mengutus seseorang untuk memanggil Muhammad. Ketika pertama kali
bertemu dengannya, ia berkata, “Satu hal yang membuatku tertarik kepadamu
adalah kejujuran dan akhlakmu yang baik. Saya siap memberi dua kali lipat
(upah) dari yang biasa kuberikan kepada orang lain dan mengutus dua budak
bersamamu untuk menjadi pembantumu selama dalam perjalanan.”
Muhammad menceritakan
apa yang telah terjadi kepada pamannya. Sang paman menjawab, “Kejadian ini
adalah sebuah perantara untuk sebuah kehidupan yang telah Allah skenariokan
untukmu. Ini adalah sebuah rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadamu.”
Rombongan pedagang
Quraisy telah siap untuk berangkat. Setelah sampai di tujuan, semua barang
dagangan terjual habis. Dan mereka juga melakukan transaksi di pasar Tuhâmah
dengan membeli barang-barang dagangan yang diperlukan sewaktu mereka kembali ke
daerah asal mereka. Rombongan dagang Khadijah yang memiliki laba melimpah di
bawah kepemimpinan Muhammad itu akhirnya pulang kembali ke Makkah.
Sesampainya rombongan di
Makkah, salah seorang budak yang bersama Muhammad itu berkata kepada Khadijah,
“Anda memiliki berita bagus. Rombongan dagangmu telah kembali dari Syam dengan
membawa laba yang melimpah dan barang-barang dagangan yang sangat bagus.”
“Apa yang telah kalian
katakan itu? Kalian pasti memiliki kenangan indah dalam perjalanan kali ini.
Coba ceritakan kepadaku”, kata Khadijah.
Maisarah menceritakan
dua kenangan indah kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin berselisih
pendapat dengan seorang pedagang dalam suatu masalah. Pedagang itu berkata
kepadanya, “Bersumpahlah demi Lâta dan ‘Uzzâ. Barulah akan kuterima ucapanmu.”
Muhammad al-Amin menjawab, “Makhluk paling hina dan paling kubenci adalah Lâta
dan ‘Uzzâ yang kau sembah itu.”10 Kedua, di Bushra, Muhammad
al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Salah seorang Rahib
melihatnya dari tempat peribadatannya. Ia menghampirinya dan menanyakan
namanya. Ketika mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata, “Orang ini adalah
nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya.”
Melalui kisah-kisah
mengesankan itu dan pengenalannya yang yang telah lama terhadap pemuda istimewa
Makkah itu, api cinta Khadijah semakin berkobar. Di samping memberikan upah
sesuai dengan kontrak dagang, Khadijah juga memberikan hadiah kepadanya
sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Semua yang diterimanya
dari Khadijah itu diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Adalah benar bahwa
Muhammad adalah seorang pemuda teladan, memiliki kemampuan manajemen hidup yang
baik, sehingga keluarga-keluarga mulia Makkah merasa bangga ketika dapat
menjalin hubungan kekeluargaan dengannya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah orang
terhormat dan pelindungnya.
Tata Cara Meminang
Khadijah menceritakan
segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal.
Dan Waraqah, orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum
Khadijah mengenalnya, membenarkan semua ceritanya.
Pembenaran Waraqah itu
menyebabkan Khadijah semakin menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu.
Bahkan dengan tegas ia menolak mentah-mentah semua pembesar Arab yang datang
untuk meminangnya. Para pembesar seperti ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu
Sufyan adalah di antara para peminang Khadijah.
Tidak aneh—seperti
kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi—jika Khadijah berkata kepada
Muhammad, “Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat
berharap dapat menikah denganmu.”
Muhammad Al-Amin itu pun
menjawab, “Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku
sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka.”
Sebagian ahli sejarah
juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang
sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, “Mengapa
di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku
mengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?”
Muhammad bertanya,
“Siapakah maksudmu?”
“Khadijah”, jawabnya.
“Apakah ia rela dengan
kondisi hidupku ini?”
“Ya. Tentukanlah harinya
sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta
pernikahan.”11
Inilah Khadijah dan
dunia indah kehidupan Muhammad al-Amin, seorang pemuda kharismatik Makkah yang
tampak agung di mata seluruh masyarakatnya. Tuhannya pun memuliakannya.
Khadijah adalah seorang wanita pemburu yang sangat mahir sehingga ia enggan
menangkap “buruan” kecuali keponakan Abu Thalib yang yatim, meskipun sahabatnya
yang berwawasan pendek dan musuhnya sering mencelanya dalam pilihannya yang
suci itu.
Perdagangan itu hanya
sebuah alasan untuk mewujudkan keinginan Khadijah yang jelas, sehingga ia dapat
mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya
tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad, “Engkau telah menguasai
seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan
sesuai dengan keinginanmu.”
Mimpi Khadijah sudah
mendekati kenyataan. Ia membaca takwil mimpi indahnya itu di sekujur tubuh
putra Aminah itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berkata kepada
dirinya, “Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita
pertama yang dicintai oleh al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan
terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?”
Dialog Khadijah dengan
Muhammad al-Amin
Dengan pesan Khadijah,
nabi yang dijanjikan itu pergi bertamu ke rumah Khadijah. Atau setelah
bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib ia pergi ke rumah Khadijah. Ia
mendapatkan penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair
untuk itu.
“Apakah engkau memiliki
keperluan yang dapat kulakukan?”
Putra Aminah tidak
mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.
“Apakah aku dapat
bertanya sesuatu kepadamu?”
“Silakan.”
“Apakah yang akan kau
lakukan dengan upah perdagangan itu?”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin tahu apakah
aku dapat melakuan sesuatu untukmu?”
“Pamanku, Abu Thalib
menginginkan aku menikah dengan modal tersebut.”
Dengan senyuman yang
bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata, “Apakah kamu setuju jika aku
merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal seorang wanita yang—dari segi
kesempurnaan dan kecantikan—sangat sesuai denganmu; seorang wanita yang baik,
suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan
dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad,
selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali
dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun.”
“Siapakah namanya?”
“Budakmu, Khadijah!”
“Oh, Tuhanku! Ia telah
bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apa yang dapat kukatakan?”
“Mengapa engkau tidak
menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah
menentangmu dalam setiap keadaan.”
Diamnya Muhammad yang
disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes,
dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan. “Hatiku telah tertambat
kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak
menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku.”
“Mengapa engkau tidak
menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu.”
“Mengapa engkau berkata
demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku seorang pemuda miskin.”
“Orang yang rela
mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai
putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan
menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku ‘kan
kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari
jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu
mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku.
Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat
Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh
ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi
Ka’bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah
menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan
mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia.”
Rasulullah saw keluar
dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan
tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul. Abu
Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, “Keponanaku, aku ucapkan
selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah
mencurahkan seluruh hadiah atasmu.”
Rasulullah berkata
perlahan, “Paman, aku ingin sesuatu dari Anda.”
Dengan tidak sabar Abu
Thalib bertanya, “Permintaan apa? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya.”
“Paman, berangkatlah
sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid
untuk meminang putrinya, Khadijah untukku,” jawabnya.
Tidak satu pun dari
paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib. Ia berkata,
“Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah
denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah
adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari
segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar
Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan
mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia
tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih
berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak
memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau.
Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya
ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga
semua orang Quraisy.”
Abu Lahab berkata,
“Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh
penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah.”
Abbas beranjak dari
tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang. Ia berkata,
“Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat
mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang
memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah
menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara harta, kecantikan,
atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka’bah, jika ia meminta mahar darinya, maka
akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki
kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu.”
Rasulullah berkata,
“Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak
ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak
mengetahui apa yang kuketahui.”
Shafiah binti Abdul
Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, “Demi Allah,
aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia
adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau
dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu.”
Ia mengenakan pakaiannya
yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat
Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.
Pada waktu itu, Khadijah
sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan
memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah
mengetahui Shafiah hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena
terburu-buru, bagian bawah bajunya terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu,
Shafiah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru,
“Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad!” Shafiah berkata
kepada dirinya, “Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan.”
Ia mengetuk pintu rumah
Khadijah. Para sahaya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan
penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi,
ia berkata, “Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti.”
Khadijah yang memahami
maksudnya dengan isyarat tersebut berkata, “Hal itu benar. Jika kau mau,
sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku telah meminang Muhammad untuk
diriku dan menerima mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian
membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya.”
Shafiah tersenyum
merekah seraya berkata, “Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta demikian.
Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah Muhammad, belum
pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah
melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya.”
Shafiah ingin keluar
dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, “Sabar
dulu sebentar.” Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat
berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya
seraya memohon sesuatu. Ia berkata, “Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku
dapat menjadi istri Muhammad.” Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat
tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.
Mereka bertanya apa yang
telah terjadi. Ia menjawab, “Ia begitu tergila-gila terhadap keponakan
kalian sehingga sulit untuk menceritakannya.” Mendengar berita itu, mereka
semua gembira dan bahagia kecuali Abu Lahab yang hal itu menambah kemarahan dan
kebenciannya. Kemarahan dan kebenciannya itu sudah pernah terjadi sebelumnya
dan sekarang bertambah parah. Abbas berkata lantang, “Sekarang ketika rencana
sudah sampai pada tahap ini, mengapa kalian semua duduk di sini?”
Di sini, sejarah menukil
satu pasal panjang tentang sikap Khuwailid terhadap Abu Thalib dan para
peminang yang bersamanya. Mereka keluar dari rumah Khuwailid dengan penuh
keputus-asaan. Akan teapi, sesuai dengan pendapat Kulaini dalam buku al-Kâfî dan al-Waqidi, yang melaksanakan akad pernikahan
Khadijah adalah pamannya. Al-Waqidi menulis, “Khuwailid telah meninggal dunia
sebelum peristiwa perang Fijâr.”
Seperti diriwayatkan
oleh Abul Hasan al-Bakri, setelah putra-putra Abdul Muthalib keluar dari rumah
Khuwailid, ketika Khadijah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia berkata,
“Katakanlah kepada pamanku, Waraqah untuk datang kemari.” Ketika ia datang, Khadijah
sangat menghormati kedatangannya dan menanyakan perihal ketidakpeduliannya.
Waraqah melihat Khadijah
dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, “Keponakankku, apa yang sedang terjadi?
Mengapa engkau bersedih hati?”
“Mengapa aku tidak boleh
sedih setelah semua harapanku terbang dibawa angin?” jawabnya.
“Selama ini aku belum
pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah
pernikahan?” tanyanya lagi.
“Ya”, jawabnya singkat.
“Pernikahan ‘kan buan
suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun
menolak mereka”, jawabnya.
“Aku tidak ingin keluar
dari Makkah”, katanya lagi.
“Tidak sedikit para
peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi’ah, ‘Uqbah bin
Mu’ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari
mereka yang kau terima”, kata Waraqah lagi.
“Aku tidak ingin suamiku
memiliki cela”, jawab Khadijah.
“Mereka ini memiliki
cela apa?”, tanya Waraqah.
“Syaibah adalah
seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, ‘Uqbah sudah tua renta,
dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun
Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar
berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?”, kata Khadijah.
“Ya, aku mendengar
berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu”, jawab Waraqah.
“Apakah engkau melihat
cela pada dirinya?”, tanyanya lagi.
Waraqah bin Naufal
mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan
Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata, “Apakah engkau ingin
kuceritakan cela-celanya?”, tanyanya.
“Ya!”, jawab Khadijah.
Ia berkata, “Ia memiliki
ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang
menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan
kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah
kenyataan.”
Khadijah bertanya, “Sepertinya
aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!”
Waraqah berkata,
“Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti
permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika
sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang.”
Khadijah berkata,
“Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya.”
Waraqah berkata, “Semua
wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia
lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang
penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum
dari minyak misik dan gaya bicara yang lebih manis dari madu. Khadijah, aku
mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya.”
Khadijah berkata,
“Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau selalu
menceritakan karakter -karakter baiknya!”
Waraqah, “Anakku,
dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?”
Khadijah berkata,
“Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan
bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak.
Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya.”
Waraqah berkata, “Apa
yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?”
Khadijah berkata,
“Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua
kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai.”
Waraqah berkata,
“Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan
dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang
mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang
dari jalan surga dan memilih jalan menuju neraka.”
Khadijah berkata, “Apa
yang kau inginkan akan kuberikan padamu.”
Menurut versi sejarah
ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak
Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan,
“Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau.”
Waraqah menjawab kedua
alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib
demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali.
Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin
Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua
urusan Khadijah.
Hamzah, paman nabi tidak
puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di
depan kaum Quraisy. Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka’bah dimana
sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam
bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf dan
Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilan itu dan
memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.
Imam Shadiq as bersabda:
”Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan
Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib
yang mulai berbicara dan berkata: ”Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam
pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil
dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami
sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada
kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan
Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia
miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat
dan cepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami
datang untuk meminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan
memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksi bahwa
keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama
serta keyakinan yang suci.”
Abu Thalib mengakhiri
pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki. Paman Khadijah,
Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa
menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara:
Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun
kali ini aku yang labih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri
sebagai berikut:
”Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya
perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk
menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu
kapan saja engkau mau.”
Abu Thalib memanfaatkan
kesempatan yang ada dan berkata: ”Jadilah kalian saksi bahwa Khadijah telah
menerima maskawin yang diambil dari hartannya.” Sebagian orang Ouraisy yang
hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak; ”Aneh
sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang
perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya.” Abu Thalib
merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik
dimana orang ketakutan sewaktu marah) lalu berkata: ”Jika mempelai lelaki
seperti keponakanku maka tidak menjadi masalahperempuan yang memberi maskawin
yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya
kamu menanggung maskawin yang besar.”
Akhirnya, Abu Thalib
menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.
(Disarikan dan diterjemahkan dari kitab Doston Izdiwaj
Maksumin)